MAKALAH
BUDAYA MELAYU
BUDAYA MELAYU
“Permainan
Masyarakat Melayu RIAU”
Dosen Pembimbing : Ulul Azmi, S.S, M.A
Disusun Oleh:
1. Citra Analisa (1184205037)
2. Marisa (1184205153)
3. Yunta Sari (1184205206)
4. Samsul Bahri (1184205041)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LANCANG KUNING
PEKANBARU
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karuniaNya makalah yang berjudul “Permainan
Masyarakat Melayu RIAU” ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Makalah
ini sangat membantu kita untuk
dapat mengetahui berbagai ragam
jenis-jenis dari permainan masyarakat Melayu Riau ini, yang saat ini hampir
redup. Makalah ini
telah penulis sajikan secara sistematis agar mudah untuk dipahami. Adapun
tujuan dari makalah ini adalah agar kita mampu memahami dan mudah untuk mengerti
bagaimana cara-cara bermain dari permainan tersebut serta dapat mengetahui asal
usul permainan tersebut. Penulis juga menyajikan nilai budaya yang terkandung
di dalam permainan tersebut. Terselesainya makalah ini tidak lepas dari semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatannya. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Ulul Azmi, M.A sebagai dosen pembimbing Budaya
Melayu, orang tua, dan teman-teman semua
yang telah mendukung baik secara moril maupun materil.
Meskipun
telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Pekanbaru, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................i
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ................................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah ..........................................................................................................1
1.3 Tujuan ............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Penjelasan
permainan tradisional ……………………………………………………………………………….2
2.2 Jenis-Jenis
Permainan Tradisional Masyarakat Melayu RIAU
2.2.1 Permainan Gasing ………………………………………………………………………………………………2
2.2.2 Permainan Congklak ………………………………………………………………………………………..….5
2.2.3 Permainan
Tali
Merdeka ………………………………………………………………………….…………6
2.2.4
Permainan Lu Lu Cina
Buta …………………………………………….…………………………………..9
2.2.5
Permainan Sepak Raga ……………………………………………………………………….…………….12
2.2.6
Permainan Lanang …………………….………………………………………………………………………14
2.2.7
Permainan Ali Oma ………………………………..………………………………………………………….15
2.2.8 Permainan Guli / Kelereng ……………………………………………………..18
2.2.9 Permainan Adu Biji Buah Karet/ Para …………………………………………..19
2.2.10
Permainan
Terompah Panjang ………………………………………………20
2.2.11 Permainan Tuju Lubang ………………………………………………………..24
2.2.12 Permainan Besimbang …………………………………………………………27
2.2.13 Permainan Pacu Jalur …………………………………………………………..29
2.2.14 Permainan Perahu Jong ………………………………………………………..34
2.2.15 Permainan Egrang ……………………………………………………………..36
2.2.16 Permainan Kudo Kepang
atau Porang-porangan …….………………………..38
2.2.18 Permainan Layang – Layang …………………………………………………..46
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................52
3.2
Saran ...........................................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................53
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Permainan
rakyat mungkin sudah lama redup karena anak-anak beralih pada permainan
elektronik yang lebih canggih. Hampir seluruh permaina anak-anak saat ini
menggunakan sistem komputerisasi dalam pengoperasiannya. Namun perlu disadari,
bahwa permainan modern saat ini mengakibatkan dampak negatif yang cukup
berpengaruh bagi anak-anak. Seperti, dengan adanya perkembangan teknologi dari
waktu ke waktu yang menyebabkan pembaharuan terus-menerus pada permainan,
menyebabkan kecenderungan anak-anak menuntut edisi terbaru dari permainan yang
dimiliki, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa permainan modern,
membentuk mental anak yang penuntut, karena berbagai faktor linkungan. Di
samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa permainan modern saat ini tidak
dapat menanamkan kesan positif yang baik sehingga dapat diingat sepanjang masa.
Seperti
halnya permainan tradisional yang sebenarnya banyak makna mulia yang bisa
tergali di baliknya. "Berdasarkan penelitian, seluruh permainan rakyat di
Indonesia memiliki kesamaan yakni pengenalan diri, alam, dan Tuhan."
Permainan tradisional memiliki banyak sisi positif yang seringkali diabaikan,
permainan tradisional mengajarkan banyak hal pada anak-anak, sehingga dapat
diingat sepanjang masa. Sebagai bukti, saya merasa permainan tradisional lebih
menyenangkan, mendidik kita dalam bermain, dan terdapat banyak pesan dalam
setiap permainan, selain itu permainan tradisional sangat “bersahabat dan
ramah”, sehingga dapat dimainkan seluruh anak-anak indonesia, tanpa
memperhitungkan ras, agama, dan budaya. Permainan tradisional menanamkan “Unity
in diversity” sejak dini yang kokoh bagi anak-anak Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
v
Jenis-jenis
permainan masyarakat Melayu RIAU
v
Sejarah
permainan, bentuk permainan, cara bermain dan Nilai Budaya yang terdapat dalam
permainan tersebut.
1.3 Tujuan
v
Untuk
mengetahui Jenis-jenis permainan masyarakat Melayu RIAU
v
Untuk
mengetahui sejarah, cara bermain, bentuk permainan dan nilai budaya yang
terkandung di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
“Permainan Masyarakat Melayu”
PEMBAHASAN
“Permainan Masyarakat Melayu”
2.1 Penjelasan Permainan Tradisional
/ Permainan Rakyat
Permainan rakyat mungkin sudah lama redup karena anak-anak
beralih pada permainan elektronik yang lebih canggih. Hampir seluruh permaina
anak-anak saat ini menggunakan sistem komputerisasi dalam pengoperasiannya.
Namun perlu disadari, bahwa permainan modern saat ini mengakibatkan dampak
negatif yang cukup berpengaruh bagi anak-anak. Seperti, dengan adanya
perkembangan teknologi dari waktu ke waktu yang menyebabkan pembaharuan
terus-menerus pada permainan, menyebabkan kecenderungan anak-anak menuntut
edisi terbaru dari permainan yang dimiliki, sehingga dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa permainan modern, membentuk mental anak yang penuntut, karena
berbagai faktor linkungan. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa
permainan modern saat ini tidak dapat menanamkan kesan positif yang baik
sehingga dapat diingat sepanjang masa.
Seperti halnya permainan tradisional yang sebenarnya banyak
makna mulia yang bisa tergali di baliknya. "Berdasarkan penelitian,
seluruh permainan rakyat di Indonesia memiliki kesamaan yakni pengenalan diri,
alam, dan Tuhan." Permainan tradisional memiliki banyak sisi positif yang
seringkali diabaikan, permainan tradisional mengajarkan banyak hal pada
anak-anak, sehingga dapat diingat sepanjang masa. Sebagai bukti, saya merasa
permainan tradisional lebih menyenangkan, mendidik kita dalam bermain, dan
terdapat banyak pesan dalam setiap permainan, selain itu permainan tradisional
sangat “bersahabat dan ramah”, sehingga dapat dimainkan seluruh anak-anak
indonesia, tanpa memperhitungkan ras, agama, dan budaya. Permainan tradisional
menanamkan “Unity in diversity” sejak dini yang kokoh bagi anak-anak Indonesia.
2.2
Jenis-Jenis Permainan Tradisional
Masyarakat Melayu RIAU
Gasing
merupakan
permainan tradisional masyarakat Melayu Riau yang sampai saat
ini masih eksis meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan
perkembangan zaman. Gasing
merupakan sejenis permainan yang boleh berputar pada paksinya sambil mengimbang
pada satu titik. Gasing merupakan permainan tradisional orang-orang Melayu
sejak dahulu. Menurut Wikipedia
Indonesia, gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan
berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang
ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali.
Gasing dibuat dari kayu bebaru, kemuning, merbau, rambai,
durian atau kundang. Kayu tersebut akan dikikis sehingga menjadi bentuk gasing.
Tali gasing dibuat dari kulit pokok bebaru. Tapi sekarang tali gasing dibuat
dari tali nilon. Panjang tali gasing biasanya bergantung kepada panjang tangan
seseorang, umumnya panjangnya 1 meter. Minyak kelapa digunakan untuk melicinkan
pergerakan tali gasing. Gasing merupakan salah satu permainan tradisional
Nusantara, walaupun sejarah penyebarannya belum diketahui secara pasti. Di
wilayah Pulau Natuna, Kepulauan Riau,
permainan gasing telah ada jauh sebelum penjajahan Belanda. Sedangkan di
Sulawesi Utara, gasing mulai dikenal sejak 1930-an. Permainan ini dilakukan
oleh anak-anak dan orang dewasa. Biasanya, dilakukan di pekarangan rumah yang
kondisi tanahnya keras dan datar. Permainan gasing dapat dilakukan secara
perorangan ataupun beregu dengan jumlah pemain yang bervariasi, menurut
kebiasaan di daerah masing-masing. Hingga kini, gasing masih sangat populer
dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan warga di kepulauan Riau rutin
menyelenggarakan kompetisi. Sementara di Demak, biasanya gasing dimainkan saat
pergantian musim hujan ke musim kemarau. Masyarakat Bengkulu ramai-ramai
memainkan gasing saat perayaan Tahun Baru Islam, 1 Muharram.
Membuat Gasing
Kayu
yang paling sesuai adalah merbau, seperti merbau tanduk, merbau darah, merbau
johol dan merbau keradah, ianya mudah dilarik tetapi tidak mudah serpih. Selain
itu kayu leban tanduk, limau, bakau, koran, sepan, penaga, keranji juga menjadi
pilihan. Jenis kayu yang mudah didapati seperti manggis, jambu batu, ciku atau
asam jawa sering digunakan untuk membuat gasing.
Cara Bermain
Gasing
dimainkan dengan dua cara, yaitu sebagai gasing pangkah atau gasing uri. Gasing
pangkah, dimainkan dengan melemparkannya supaya mengetuk gasing lawan. Gasing
uri dipertandingkan untuk menguji ketahanannya berputar.
Gasing
pinang dimainkan oleh kanak-kanak.
Untuk
memutar gasing, tali setebal 1.75 cm dan sepanjang 3 hingga 5 meter dililitkan
pada jambulnya hingga meliputi seluruh permukaan gasing. Kemudian gasing itu
dilemparkan ke atas tanah dan serentak dengan itu tali yang melilit jambuhnya
direnggut.
Beragam nama gasing
Sejumlah
daerah memiliki istilah berbeda untuk menyebut gasing. Masyarakat Jawa Barat
dan DKI Jakarta menyebutnya gangsing atau panggal. Masyarakat Lampung
menamainya pukang, warga Kalimantan Timur menyebutnya begasing, sedangkan di
Maluku disebut Apiong dan di Nusatenggara Barat dinamai Maggasing. Hanya masyarakat
Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut
gasing.
Nama
maggasing atau aggasing juga dikenal masyarakat bugis di Sulawesi Selatan.
Sedangkan masyarakat Bolaang Mangondow di daerah Sulawesi Utara mengenal gasing
dengan nama Paki. Orang jawa timur menyebut gasing sebagai kekehan. Sedangkan
di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu
disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon.
Bentuk gasing
Gasing
memiliki beragam bentuk, tergantung daerahnya. Ada yang bulat lonjong, ada yang
berbentuk seperti jantung, kerucut, silinder, juga ada yang berbentuk seperti
piring terbang. Gasing terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki
(paksi). Namun, bentuk, ukuran danbgain gasing, berbeda-beda menurut daerah
masing-masing.
Gasing
di Ambon (apiong) memiliki kepala dan leher. Namun umumnya, gasing di Jakarta
dan Jawa Barat hanya memiliki bagian kepala dan paksi yang tampak jelas,
terbuat dari paku atau logam. Sementara paksi gasing natuna, tidak nampak.
Permainan gasing
Cara
memainkan gasing, tidaklah sulit. Yang penting, pemain gasing tidak boleh
ragu-ragu saat melempar gasing ke tanah.
Cara:
1.Gasing
di pegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang tali.
2.Lilitkan
tali pada gasing, mulai dari bagian paksi sampai bagian badan gasing. lilit
kuat lalu putar.
Nilai Budaya
Dalam
permainan ini di butuhkan konsentrasi yang tinggi untuk dapat memutar gasing
dengan waktu yang lama.
2.2.2
Permainan Congklak
Main Congkak merupakan salah satu permainan rakyat
Melayu yang biasanya dimainkan oleh
kalangan wanita dewasa dan anak-anak perempuan.Permainan ini bersifat umum bagi
masyarakat dan terdapat di seluruh
daerah yang ada di Kepulauan Riau.main
Congkak hanyalah suatu permainan pengisi waktu senggang,yang dimainkan sekedar
untuk menghibur diri.permainan tersebut tidak ada hubungan dengan upacara adat
atau dari kepercayaan masyarakat setempat.
Rumah Congkak disebut juga papan
congkak.Alat ini ada yang terbuat dari kayu dan ada juga yang berbahan dasar
plastik .Pada bagian atas papan congkak, terdapat 16 buah lubang dengan ukuran
50 x 20 cm dan tebalnya 8 cm.Buah atau biji congkak terdiri dari batu-batu
kecil sebesar kelingking dan yang paling sering dipakai adalah kulit
kucing-kucing, yakni sejenis siput kecil yang hidup di pasir pantai.
Permainan
Congkak sebenarnya tidak dibatasi oleh kaum perempuan saja yang
memainkannya.Akan tetapi Karena kaum laki-laki kurang senang bermain dengan
permainan yang jalannya sangat lambat dan menghabis-habiskan waktu saja,maka
jaranglah kaum laki-laki yang bermain Congkak.
Nilai Budaya: Keseriusan dan
konsentrasi
Asal
Usul
Permainan
Tali Merdeka adalah sebutan untuk mereka yang tinggal di Provinsi Riau. Di
daerah yang masyarakatnya adalah pendukung kebudayaan Melayu ini ada sebuah
permainan yang disebut sebagai tali merdeka. Inti dari permainan ini adalah
melompat tali-karet yang tersimpul. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan
tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan pemain itu sendiri, khususnya pada
lompatan yang terakhir. Pada lompatan ini (yang terakhir), tali direnggangkan
oleh pemegangnya setinggi kepalan tangan yang diacungkan ke udara. Kepalan
tangan tersebut hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh para pejuang ketika
mengucapkan kata “merdeka”. Gerakan tangan yang menyerupai simbol kemerdekaan
itulah yang kemudian dijadikan sebagai nama permainan yang bersangkutan. Kapan
dan dari mana permainan ini bermula sulit diketahui secara pasti. Namun, dari
nama permainan itu sendiri dapat diduga bahwa permainan ini muncul di zaman
penjajahan. Sebenarnya di daerah lain indonesia juga banyak di temukan
permainan ini tapi dengan nama yang berbeda misal dengan nama Lompat Tali,
Lompatan dll
Pemain
Pemain tali merdeka ini berjumlah 3--10 orang. Pemain dibagi dalam dua kelompok, yaitu pemegang karet dan pelompat karet. Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh kaum perempuan yang masih berusia antara 7--15 tahun. Kaum perempuan yang telah berumur lebih dari 15 tahun biasanya akan segan untuk ikut bermain, karena takut auratnya akan terlihat sewaktu melompati tali karet. Kalau pun ada yang ikut bermain, biasanya hanya sebagai penggembira saja dan hanya melompat saat ketinggian tali masih sebatas lutut atau pinggang. Sedangkan kaum laki-laki hanya kadang kala saja ikut serta.
Tempat Permainan
Pemain tali merdeka ini berjumlah 3--10 orang. Pemain dibagi dalam dua kelompok, yaitu pemegang karet dan pelompat karet. Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh kaum perempuan yang masih berusia antara 7--15 tahun. Kaum perempuan yang telah berumur lebih dari 15 tahun biasanya akan segan untuk ikut bermain, karena takut auratnya akan terlihat sewaktu melompati tali karet. Kalau pun ada yang ikut bermain, biasanya hanya sebagai penggembira saja dan hanya melompat saat ketinggian tali masih sebatas lutut atau pinggang. Sedangkan kaum laki-laki hanya kadang kala saja ikut serta.
Tempat Permainan
Permainan ini tidak
membutuhkan tempat yang luas. Oleh karena itu, dapat dimainkan di mana saja dan
kapan saja, seperti: di halaman sekolah (pada waktu istirahat) dan di halaman
rumah.
Peralatan Permainan
Peralatan Permainan
Peralatan yang
digunakan dalam permainan ini adalah karet-karet gelang yang dianyam memanjang.
Cara menganyamnya adalah dengan menyambungkan dua buah karet pada dua buah
karet lainnya hingga memanjang dengan ukuran sekitar 3--4 meter. Karet-karet
tersebut berbentuk bulat seperti gelang yang banyak terdapat di pasar-pasar
tradisional. Karet tersebut tidak dijual perbuah, melainkan dalam bentuk satuan
berat (gram, ons, dan kilo). Fungsi karet pada umumnya adalah sebagai pengikat
plastik-plastik pembungkus makanan, pengikat rambut dan barang-barang lainnya
yang tidak membutuhkan pengikat yang kuat, karena karet akan mudah putus jika
dipakai untuk mengikat terlalu kuat pada suatu benda. Oleh karena itu, sewaktu
membuat anyaman untuk membentuk tali karet, diperlukan dua buah karet yang
disambungkan dengan dua buah karet lain agar tidak lekas putus oleh anggota
tubuh pemain yang sedang melompat. Ada kalanya tali-karet dianyam dengan
menyambungkan 3--4 buah karet sekaligus, agar tali menjadi semakin kuat dan
dapat dipakai berkali-kali.
Aturan
Permainan
Permainan tali merdeka
tergolong sederhana karena hanya melompati anyaman karet dengan ketinggian
tertentu. Jika pemain dapat melompati tali-karet tersebut, maka ia akan tetap
menjadi pelompat hingga merasa lelah dan berhenti bermain. Namun, apabila gagal
sewaktu melompat, pemain tersebut harus menggantikan posisi pemegang tali
hingga ada pemain lain yang juga gagal dan menggantikan posisinya. Ada beberapa
ukuran ketinggian tali karet yang harus dilompati, yaitu: (1) tali berada pada
batas lutut pemegang tali; (2) tali berada sebatas (di) pinggang (sewaktu
melompat pemain tidak boleh mengenai tali karet sebab jika mengenainya, maka ia
akan menggantikan posisi pemegang tali; (3) posisi tali berada di dada pemegang
tali (pada posisi yang dianggap cukup tinggi ini pemain boleh mengenai tali
sewaktu melompat, asalkan lompatannya berada di atas tali dan tidak terjerat);
(4) posisi tali sebatas telinga; (5) posisi tali sebatas kepala; (6) posisi
tali satu jengkal dari kepala; (7) posisi tali dua jengkal dari kepala; dan (8)
posisi tali seacungan atau hasta pemegang tali.
Proses
Permainan
Sebelum
permainan diadakan, terlebih dahulu akan dipilih dua orang pemain yang akan
menjadi pemegang tali dengan jalan gambreng dan suit. Gambreng dilakukan dengan
menumpuk telapak tangan masing-masing peserta yang berdiri dan membentuk sebuah
lingkaran. Kemudian, secara serentak tangan-tangan tersebut akan diangkat dan
diturunkan. Pada saat diturunkan, posisi tangan akan berbeda-beda (ada yang
membuka telapak tangannya dan ada pula yang menutupnya). Apabila yang terbanyak
adalah posisi telapak terbuka, maka yang memperlihatkan punggung tangannya
dinyatakan menang dan gambreng akan diulangi lagi hingga nantinya yang tersisa
hanya tinggal dua orang peserta yang akan menjadi pemegang tali. Kedua orang
tersebut nantinya akan melakukan suit, untuk menentukan siapa yang terlebih
dahulu akan menggantikan pemain yang gagal ketika melompat. Suit adalah adu
ketangkasan menggunakan jari-jemari tangan, khususnya ibu jari, jari telunjuk
dan jari kelingking. Ibu jari dilambangkan sebagai gajah, jari telunjuk sebagai
manusia dan jari kelingking sebagai semut. Apabila ibu jari beradu dengan jari
telunjuk, maka ibu jari akan menang, karena gajah akan menang jika bertarung
dengan seorang manusia. Namun apabila ibu jari beradu dengan jari kelingking,
maka ibu jari akan kalah, sebab semut dapat dengan mudah memasuki telinga
gajah, sehingga gajah akan kalah. Sedangkan apabila jari kelingking beradu
dengan jari telunjuk, maka jari kelingking akan kalah, sebab semut akan kalah
dengan manusia yang mempunyai banyak akal.
Setelah
semuanya siap, maka satu-persatu pemain akan melompati tali dengan berbagai
macam tahap ketinggian yang telah disebutkan di atas. Pada
ketinggian-ketinggian yang sebatas lutut dan pinggang, umumnya para pemain
dapat melompatinya, walaupun pada ketinggian tersebut tali tidak boleh
tersentuh tubuh pemain. Pada tahap ketinggian yang sebatas dada hingga satu
jengkal di atas kepala, mulai ada pemain yang merasa kesulitan untuk
melompatinya. Pergantian pemegang tali mulai banyak terjadi pada saat
ketinggian tali sebatas hingga dua jengkal di atas kepala. Tahap yang paling
sulit adalah ketika tali berada seacungan hasta pemegangnya. Pada tahap
ketinggian seperti ini, pada umumnya hanya pemain-pemain yang memiliki postur
tubuh yang tinggi dan atau sering bermain tali merdeka saja yang dapat
melompatinya. Agar mempermudah lompatan, pemain juga boleh melakukan gerakan
berputar menyamping, yang jika diamati akan nampak seperti perputaran
baling-baling. Gerakan berputar pada umumnya dilakukan oleh anak laki-laki.
Selain berputar, pemain juga boleh memegang dan menurunkan tali terlebih dahulu
sebelum melompat. Cara ini biasanya dilakukan oleh anak-anak perempuan. Pemain
yang telah berhasil melompati tali yang setinggi acungan tangan, akan menunggu
pemain lain selesai melompat. Dan, setelah seluruh pemain berhasil melompat,
maka tali akan diturunkan kembali sebatas lutut. Begitu seterusnya, hingga
pemain merasa lelah dan berhenti bermain.
Nilai
Budaya
Permainan yang disebut
sebagai tali merdeka ini mengandung nilai kerja keras, ketangkasan, kecermatan
dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemain yang berusaha
agar dapat melompati tali dengan berbagai macam ketinggian. Nilai ketangkasan
dan kecermatan tercermin dari usaha pemain untuk memperkirakan antara tingginya
tali dengan lompatan yang akan dilakukannya. Ketangkasan dan kecermatan dalam
bermain hanya dapat dimiliki, apabila seseorang sering bermain dan atau
berlatih melompati tali merdeka. Sedangkan nilai sportivitas tercermin dari
sikap pemain yang tidak berbuat curang dan bersedia menggantikan pemegang tali
jika melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam permainan.
Lu Lu Cina Buta adalah permainan
rakyat yang masih selalu dimainkan oleh anak-anak kecil di Tembilahan,
Indragiri Hilir. Permainan ini bagi masyarakat pendukungnya adalah semata-mata
merupakan permainan penyalur kreativitas anak-anak untuk mengisi waktu
senggang, permainan itu dimainkan sebagai hiburan pelepas lelah saja, terlepas
dari ikatan suatu peristiwa sosial tertentu. Tidak pula menjadi tuntutan adat
istiadat yang berlaku di daerah itu. Permainan ini selain dari mengasyikkan
para pelakunya, dapat pula menghibur para penonton yang juga terdiri dari
anak-anak di bawah umur.
Yang mengasyikkan para penonton menyaksikan permainan Lu Lu
Cina Buta it, disebabkan para penonton bisa berkomunikasi dengan para pelakunya
saat mereka sedang menyanyikan lagu permainan tersebut, ialah Lu Lu Cina Buta
yang agak lucu dan mengetawakan.
Peralatan
Sapu
tangan
Sehelai
sapu tangan yang akan digunakan untuk menyimpal mata bagi yang menjadi Cina
Buta.
Dalam
permainan ini biasanya diiringi dengan lagu Lu Lu Cina Buta, dinyanyikan tanpa
musik pengiring. Adapun bunyi lagu Lu Lu Cina Buta, seperti berikut:
Lu Lu Cina Buta
Lu banyak tai mata
Lu berjalan teraba-raba
Lala terantuk janda tua
Dalam nyanyian di atas, kata janda
selalu ditukar-tukar menjadi Nyonya, Kuda, dsb.
Cara Bermain
Cara Bermain
- Dilakukan
undi.Sebelum bermain dilakukan undian terlebih dahulu untuk mencari pelaku
Cina Butanya, biasanya undian dilakukan dengan cara suit:
- Sut
seorang lawan seorang, yang kalah terus sut lagi dengan yang berikutnya,
berturut-turut hingga tinggal seorang yang kalah saja untuk menjadi Cina
Buta.
- Sut
dengan mempergunakan jari tangan: Kelingking menang lawan ibu jari kalah
dari telunjuk; Telunjuk menang lawan kelingking, kalah lawan ibu jari; Ibu
jari menang lawan telunjuk, kalah dari kelingking.
- Yang
kalah menjadi Cina Buta, mukanya ditutup dengan sapu tangan. Kemudian
berdiri di tengah-tengah para pemain dalam keadaan mata tersimpul.
- Yang
menang beramai-ramai membuat lingkaran dengan cara berpegangan tangan membuat
jalan keliling sambil melingkar.
- Sambil
melingkar berkeliling, menyanyi bersama-sama lu lu Cina Buta
- Selesai
menyanyi, pemain duduk mencangkung dalam posisi menghadap pusat lingkaran
- Setelah
pemain selesai bernyanyi, Cina Buta berjalan meraba-raba para pemain, dan
menerka nama si pemain tersebut.
- Bila
terkaannya tepat, maka yang diterka itu menjadi Cina Buta, lalu permainan
baru pula dimulai seperti (kembali ke no. 2 dan 3 di atas)
- Bila
terkaannya meleset, maka ia terus menjadi Cina Buta, dan permainan
diteruskan. Mulai seperti (kembali ke no. 2 dan 3 di atas)
- Permainan
dilakukan terus menerus berulang kali, hingga kira-kira 30-45 menit bubar.
Peraturan
permainan
- Semua
pemain harus ikut bernyanyi, kecuali yang menjadi Cina Buta. Yang tak mau ikut bernyanyi,
maka ia dihukum menjadi Cina Buta. Maka berlakulah seperti (kembali ke
cara bermain no. 2, 3 dan 4)
- Permainan
tak boleh keluar lingkaran ataupun menghindari diri dari rabaan Cina Buta.
Barang siapa melanggar peraturan tersebut, maka dihukum menjadi Cina Buta,
dan berlaku pula seperti (kembali ke permainan no. 2, 3 dan 4).
- Cina
Buta meraba-raba wajah, bahu, dan rambut pemain. Dilarang meraba-raba
tempat lain terutama di bagian di bawah. Jika melanggar, perekaannya
batal, dan kembali menjadi Cina Buta. Permainan diulang lagi seperti
(kembali ke permainan no. 2, 3 dan 4).
- Pemain
boleh mengatakan ‘up‘ bila ianya ada keperluan mendadak mau keluar,
lingkaran, seperti akan pipis atau akan buang hajat, dan sebagainya.
- Bila
sekiranya sampai 3 kali putar si Cina Buta gagal menebak, maka permainan
diulang seluruhnya dari sut, kemudian main lagi.
Tempat Permainan
Tempat bermain Lu Lu Cina Buta
adalah rumah, ataupun tanah lapang dengan ukuran: ± 6 x 5 depa.
Pemain
Pemain
- Jumlah
pemain untuk permainan ini sekitar 10 s/d 30 orang
- Usia
pemain antara 7 s/d 10 tahun
- Permainan
ini bisa dilakukan baik oleh anak laki-laki dan perempuan, dan bisa
dilakukan bersama.
Keahlian Khusus
Dalam permainan ini tidak begitu
membutuhkan keahlian khusus, hanya membutuhkan feeling untuk menebak atau
menerka lawan mainnya.
Nilai Budaya
Permainan
Lu Lu Cina Buta diselenggarakan oleh anak-anak dari segala tingkat sosial
masyarakat, dengan tidak membeda-bedakan apakah mereka anak orang kaya, ataukah
anak orang miskin; anak turunan bangsawan atau anak orang kebanyakan semuanya
dipandang sama saja. Mereka bermain dalam satu kesatuan hakekat. Yakni bermain
bersama-sama untuk menghibur diri, dan bergembira bersama-sama pula.
2.2.5 Permainan Sepak
Raga
Memperkenalkan kepada anda permainan
tradisional masyarakat di propinsi Kepulauan Riau yakni Sepak Raga. Sepak Raga
merupakan permainan tradisional masyarakat di Kepulauan Riau yang menjadikan
bola dari anyaman rotan sebagai alat permainannya. Sepak Raga berasal dari kata
Sepak dan Raga. Dalam bahasa Melayu, Sepak diartikan
tendang, sementara Raga merupakan sebutan untuk bola yang terbuat dari anyaman
rotan. Bola dalam permainan Sepak Raga berdiameter sekitar 42 centimeter.
Sementara beratnya mencapai lebih kurang 185 hingga 195 gram. Sebelum kini
menjadi permainan rakyat, Sepak Raga merupakan permainan kerajaan. Sekitar abad
ke-15, hanya keluarga dari Kerajaan Malaka-lah yang boleh memainkan Sepak Raga.
Sementara rakyat yang bukan termasuk
keluarga kerajaan, hanya boleh menyaksikan pertunjukannya saja. Namun sejak
Kerajaan Malaka mengalami keruntuhan hingga kini, Sepak Raga berubah menjadi
permainan rakyat. Siapa saja termasuk anda dapat menjadi pemain Sepak Raga
ketika berkunjung ke propinsi Kepulauan Riau. Yang menjadi daya tarik dari
permainan ini yakni kepiawaian para pemain mempertahankan bola menggunakan
kedua kaki dan kepala supaya bola tidak jatuh ke tanah.
Dalam sebuah pertandingan, Sepak Raga
dimainkan oleh dua tim. Setiap timnya terdiri dari 3 orang lelaki yakni seorang
pemain sebagai server atau tekong, seorang sebagai apit kanan, seorang lagi
sebagai apit kiri. Ketika bertanding, posisi tekong selalu berada di tengah
lapangan. Tekong bertugas melempar bola ke arah lawan, menerima bola, serta
menahan serangan bola dari regu lawan.
Sementara, apit kanan dan apit kiri
berada di sebelah kanan dan kiri Tekong. Mereka bertugas melemparkan bola ke
arah tekong, menerima serta menahan bola dari arah lawan. Kedua tim Sepak Raga
bermain di sebuah lapangan yang bentuknya seperti lapangan bola voly. Antara
satu daerah dengan daerah lainnya dibatasi oleh sebuah jaring pembatas atau net
dari jalinan benang nylon. Tinggi jaring pembatas mencapai 1 koma 55 meter,
panjang 6 koma 10 meter serta lebar mencapai lebih kurang 0 koma 7 meter.
Pertandingan Sepak Raga memiliki aturan
permainan. Ketika bertanding, pemain Sepak Raga diwajibkan untuk mengenakan
penutup kepala dari kain serta tidak mengenakan alas kaki. Penutup kepala
menjadi pelindung kepala ketika pemain memainkan bola menggunakan kepala.
Permainan pertama dilakukan oleh apit kiri atau apit kanan yang memberikan bola
kepada tekong. Bola yang diterima tekong kemudian ditendang menggunakan kaki ke
arah lawan.
Bola yang ditendang tekong harus mampu
melewati net atau jaring pembatas daerah satu dengan daerah lawan. Ketika bola
berhasil melintasi jaring pembatas, lawan harus mampu mengendalikan bola.
Secara kompak dan bergantian, tekong, apit kanan serta apit kiri memainkan bola
dan mempertahankannya tanpa jatuh ke tanah. Setiap pemain Sepak Raga hanya
boleh mengendalikan bola menggunakan kedua kaki dan kepala. Selama bertanding,
mereka tidak boleh menggunakan tangan. Tangan pemain hanya digunakan untuk
melempar bola arah tekong ketika server pertama dimainkan.
Pihak yang mampu mempertahankan bola
tanpa jatuh ke tanah mendapatkan poin. Namun jika bola yang mereka mainkan
jatuh ke tanah, pihak pemberi bola berhak mendapatkan satu poin dan pihak lawan
dinyatakan kalah satu poin. Bola berpindah posisi ketika pihak pemain tidak
mampu mempertahankan bola dan bola jatuh ke tanah. Begitu seterusnya hingga
pertunjukan Sepak Raga usai. Yang berhak menjadi pemenang dalam permainan Sepak
Raga yakni tim dengan poin terbanyak dan mampu mempertahankan bola tanpa
memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk memainkan bola.
Untuk menyaksikan pertunjukan Sepak
Raga, anda dapat berkunjung ke propinsi Kepulauan Riau pada bulan Agustus.
Setiap tahunnya, Sepak Raga menjadi salah satu permainan yang dilombakan untuk
merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Nilai
Budaya: kekompakan, kerja keras dan keseriusan.
Sejarah
Permainan
tradisional lanang merupakan permainan tradisional masyarakat Kampar, Riau.
Permainan ini dilakukan oleh anak remaja maupun orang dewasa, baik laki-laki
atau perempuan biasanya lebih dominan dilakukan anak laki-laki. Permainan ini
dilakukan untuk mengisi waktu lowong/waktu senggang. Permainan ini sudah ada
sejak dulu sebagai peninggalan nenek moyang kita.
Bahan
Kayu/anak patok lele berukuran 10 cm, lebar 3 cm. Tongkatnya berukuran panjang 40 cm dan lebar 3 cm.
Kayu/anak patok lele berukuran 10 cm, lebar 3 cm. Tongkatnya berukuran panjang 40 cm dan lebar 3 cm.
Cara menggunakan
Anak lanang yang dimasukkan dalam
lobang tanah kemudian dipukul ujungnya sehingga melintang ke atas, dan setelah
itu dipukul sekuatnya ke depan.
Aturan pertandingan
Membuat
lubang tanah dan garis 10 cm, untuk permainan dengan jarak 15 m. Dilakukan
antara dua pihak atau beregu. Dari garis batas pemukul si pemain memukul anak
lele ke depan, kemudian diukur melalui tongkat lanang jumlahnya merupakan poin
yang didapat.
Nilai
Budaya: Konsentrasi dan bekerja keras.
2.2.7 Permainan Ali Oma
Asal
Usul
Pada
masyarakat di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, ada sejenis permainan yang
disebut ali oma. Permainan ini dinamakan ali oma, karena
pada waktu melakukannya diiringi oleh nyanyian ali oma. Inti dari
permainan ali oma, sebenarnya sama dengan permainan petak umpet
yang dimainkan oleh anak-anak yang ada di Jakarta, yaitu mencari tempat
persembunyian pemain lain, sambil menjaga “benteng” pertahanannya, agar tidak
disentuh atau dipegang oleh pemain lain. Dalam konteks ini, “benteng” adalah
sebuah tembok atau batang pohon yang harus dijaga oleh seorang pemain dari
“serangan” (sentuhan) pemain yang lain.
Konon,
pada masa penjajahan Belanda, nama permainan ini bukanlah ali oma,
melainkan “main sembunyi-sembunyi”, yang dilakukan oleh anak-anak pada malam
hari di sekitar pekarangan rumah. Namun, sejak zaman kemerdekaan nama permainan
tersebut disesuaikan dengan kata-kata yang terdapat dalam nyanyiannya, yaitu “Ali
Oma”, dan dapat dimainkan pada waktu siang hari saat jam istirahat
sekolah, maupun sore hari sambil menunggu waktu magrib.
Pemain
Jumlah pemain Ali
Oma biasanya 5--20 orang, dengan usia 7--13 tahun. Permainan ini dapat
dimainkan secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Dari sekian banyak
pemain tersebut, hanya satu orang yang menjadi penjaga “benteng” (disebut Si
jadi), sedangkan pemain yang lainnya (disebut penyuruk) akan
bersembunyi sambil menunggu waktu yang tepat sebelum menyerang “benteng”
Tempat
Permainan
Permainan yang disebut ali
oma ini dapat dilakukan di mana saja; di halaman rumah, di halaman rumah
adat, di halaman sekolah, ataupun di lapangan.
Peralatan
Permainan
Peralatan yang
digunakan dalam permainan Ali Oma sangat sederhana, yaitu hanya dengan
memanfaatkan sebuah tembok atau batang kayu yang cukup besar, yang berfungsi
sebagai “benteng” yang harus dijaga olehSi jadi dari “serbuan” pemain
lain (penyuruk).
Aturan
Permainan
Aturan permainan ali
oma tergolong mudah, yaitu seorang pemain yang kebetulan mendapat giliran
menjaga “benteng”, harus mencari penyuruk yang sedang bersembunyi.
Apabila ia dapat menemukan seluruhpenyuruk, maka penyuruk yang
pertama kali diketahui tempat persembunyiannya, akan menjadi penjaga “benteng”.
Namun, apabila di tengah-tengah permainan “benteng” yang dijaganya berhasil
disentuh atau dipegang oleh penyuruk yang belum tertangkap, maka penyuruk
yang telah tertangkap akan “bebas” kembali, dan ia (Si jadi) harus
mengulangi lagi mencari seluruh penyuruk.
Proses
Permainan
Sebelum permainan
dimulai, terlebih dahulu dipilih satu orang pemain yang akan menjadi penjaga
“benteng” dengan jalan gambreng dan suit. Gambreng
dilakukan dengan menumpuk telapak tangan masing-masing peserta yang berdiri dan
membentuk sebuah lingkaran. Kemudian, secara serentak tangan-tangan tersebut
akan diangkat dan diturunkan. Pada saat diturunkan, posisi tangan akan
berbeda-beda (ada yang membuka telapak tangannya dan ada pula yang menutupnya).
Apabila yang terbanyak adalah posisi telapak terbuka, maka yang memperlihatkan
punggung tangannya dinyatakan menang dan gambreng akan diulangi lagi
hingga nantinya yang tersisa hanya tinggal dua orang peserta. Kedua orang
tersebut nantinya akan melakukan suit, untuk menentukan siapa yang akan
menjaga “benteng” (Si jadi).
Setelah semuanya siap, Si
jadi harus menghadap ke “benteng” dengan mata tertutup, sebelum pemain
lainnya (penyuruk) bersembunyi. Tenggang waktu yang disediakan bagi para
penyuruk untuk bersembunyi, adalah selama nyanyian ali oma.
Begitu nyanyian selesai, maka Si Jadi baru diperbolehkan untuk mencari
tempat persembunyian para penyuruk. Selama pencarian tersebut, Si
jadi akan berlarian ke tempat-tempat yang dirasa ada penyuruknya.
Apabila berhasil menemukan seorang penyuruk, maka ia dan Si penyuruk
tersebut akan berlari secepatnya menuju “benteng”. Jika Si jadi berhasil
menyentuh “benteng” terlebih dahulu, berartiSi penyuruk berhasil ditangkap.
Begitu seterusnya, hingga seluruh penyuruk berhasil ditangkap, dan
permainan dimulai kembali dengan penyuruk pertama yang tertangkap
menjadi penjaga “benteng”. Namun, apabila Si jadi kalah cepat dibanding Si
penyuruk, maka penyuruk tersebut “bebas” dan dapat bersembunyi
lagi. Si jadi juga akan tetap menjaga “benteng”, jika sebelum seluruh penyuruk
tertangkap, “benteng” telah berhasil “dikuasai” (disentuh) oleh salah seorang penyuruk.
Permainan ali oma akan berakhir apabila para pemainnya telah
merasa lelah atau puas bermain.
Nilai
Budaya
Nilai-nilai yang terkandung dalam
permainan yang disebut sebagai Ali Oma ini adalah tolong-menolong, kerja
keras, dan sportivitas. Nilai tolong-menolong tercermin ketika ada penyuruk
yang tertangkap, makapenyuruk lainnya akan menolongnya dengan berusaha
menyerang “benteng”. Sebab, dengan bobolnya “benteng” berarti yang tertangkap
akan bebas dan dapat bersembunyi lagi. Nilai kerja keras tercermin dalam usaha Si
jadi untuk menjaga “benteng” dan mencari tempat persembunyian para penyuruk.
Usaha ini memerlukan kerja keras dari Si jadi, sebab untuk menjaga
“benteng” dan mencari penyuruk seorang diri, bukan suatu hal mudah.
Sedangkan nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang tidak berbuat
curang selama permainan berlangsung dan bersedia menggantikan posisi pemain
yang menjaga “benteng”.
2.2.8
Permainan Guli / Kelereng
Sejarah Kelereng
Orang Betawi menyebut kelereng dengan nama gundu. Orang
Jawa, neker. Di Sunda, kaleci. Palembang, ekar, di Banjar, kleker. Nah,
ternyata, kelereng juga punya sejarah. Ini kuketahui saat membaca majalah
Intisari edisi Desember 2004, rubrik asal-usul, hal 92. Sejak abad ke-12, di
Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil. Lain halnya di
Belanda, para Sinyo-Sinyo itu menyebutnya kelereng atau gundu (atau dalam
bahasa Jawa disebut nèker) adalah mainan kecil berbentuk bulat yang terbuat
dari kaca, tanah liat, atau agate. Ukuran kelereng sangat bermacam-macam.
Umumnya ½ inci (1.25 cm) dari ujung ke ujung. Kelereng dapat dimainkan sebagai
permainan anak, dan kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang
estetik.
Nilai Budaya: mengajarkan kita untuk dapat
berkonsentrasi, berbagi dan kesabaran yang paling penting.
2.2.9
Permainan Adu Biji Buah
Karet/ Para | Permainan Tradisional Kampar, Riau
Bernostalgia
kembali pada zaman kanak-kanak dahulu, tepatnya di Desa Kumantan, Bangkinang.
Permainan anak-anak disini begitu kaya akan nuansa tradisional dan bervariasi
sesuai musim. Salah satu permainan itu adalah adu biji buah karet / para/
bengkek. Alasan memainkan permainan ini adalah tidak perlu biaya dan mudah
didapatkan karena masyarakat masih banyak yang menanam pohon karet sebagai
matapencaharian mereka.
Dalam
mendapatkan biji karet ini dengan memungut buah yang telah jatuh dari pohon.
Biasanya dalam satu buah karet memiliki 3 atau 4 biji didalamnya.
Cara
memainkan permainan ini cukup mudah. diawali dengan suit dan siapa yang menang
dia yang jalan terlebih dahulu. dan yang kalah harus merelakan biji karet
jagoannya ditaruh dibawah biji karet jagoan yang menang suit tadi. Lalu biji
karet itu ditumbuk dengan telapak tangan bagian bawah. dan jika belum ada yang
pecah mereka bergantian menumbuk biji karet jagoan masing-masing sampai salah
satu biji karet tersebut ada yang pecah. dan yang pecah lah yang kalah.
Namun,
sangat disayangkan anak-anak zaman sekarang sudah mulai meninggalkan permainan
ini, dikarenakan begitu pesatnya permainan berbasis teknologi seperti komputer.
Nilai budaya:
kesabaran dan konsentrasi.
2.2.10
Permainan Terompah Panjang
Sejarah
permainan
Permainan terompah panjang sejak dulu sudah ada didaerah
sepanjang perairan Sungai Rokan, baik Rokan Kiri maupun Rokan Kanan, Kabupaten
Kampar, maupun Rokan dibagian Hilir, seperti dibagian Siapi – Api, Bengkalis,
Riau. Kini, terompah pangjang sudah merakyat. Tujuannya adalah untuk berolahraga,
mengisi waktu luang dan memupuk sikap kerja sama (kekompakan team). Manfaat
permainan ini adalah untuk meningkatkan kebugaran, ketegangan menurun, dan
kemampuan kerja sama meningkat. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak –
anak, remaja, dewasa putra dan putri.
Peraturan
Permainan
1. Lapangan
Permainan terompah panjang diadakan dilapangan terbuka, rata seperti stadion, lapangan umum, jalan raya (bila memungkinkan). Lapangan dibuat sedemikian rupa agardalaam pelaksanaannya tidak menghadap matahari. Panjang atau jarak lintasan: 50 meter, dengan lebar 7,5 meter, yang dibagi menjadi 5 lintsan (masing – masing lintasan lebar 1,5 meter). Antar lintasan diberi garis dari kapur 5 cm. Ujung lintasan diberi garis start dan garis finish.
2. Peralatan
1. Lapangan
Permainan terompah panjang diadakan dilapangan terbuka, rata seperti stadion, lapangan umum, jalan raya (bila memungkinkan). Lapangan dibuat sedemikian rupa agardalaam pelaksanaannya tidak menghadap matahari. Panjang atau jarak lintasan: 50 meter, dengan lebar 7,5 meter, yang dibagi menjadi 5 lintsan (masing – masing lintasan lebar 1,5 meter). Antar lintasan diberi garis dari kapur 5 cm. Ujung lintasan diberi garis start dan garis finish.
2. Peralatan
1. Bendera
start (peluit start);
2. Bendera
– bendera kecil dari bahan: tangkai dari bambu dengan panjang 40 cm, bendera
dibuat dari kain atau kertas berwarna meerah dan biru berbentuk segitiga dengan
ukuran bendera 27 cm. Jumlah bendera sesuai dengan jumlah lintasan yang
dipakai.
3. Kapur
untuk membuat lintasan;
4. Nomor
dada dan stopwatch;
5. Terompah,
terompah dibuat dari bahan balok / papan yang tebal karet / ban, dan paku.
Ukuran
terompah:
¶ Panjang
terompah untuk 3 orang 141 cm;
¶ Panjang
terompah unutk 5 orang 235 cm;
¶ Lebar
terompah 10 cm;
¶ Tebal
terompah 2,5 cm;
¶ Berat
terompah seluruhnya untuk teromaph 3 orang 4 kg ( sepasang) terompah 5 orang 8
kg (sepasang).
Pemain
Jenis kelamin laki – laki dan perempuan yang tergabung dalam regu putra dan regu putri. Kelompok umur anak – anak 9 – 12 tahun, remaja 13 – 16 tahun, dewasa 17 tahun keatas.
Jenis kelamin laki – laki dan perempuan yang tergabung dalam regu putra dan regu putri. Kelompok umur anak – anak 9 – 12 tahun, remaja 13 – 16 tahun, dewasa 17 tahun keatas.
Jenis
perlombaan
Beregu 3 orang dan beregu 5 orang.
Beregu 3 orang dan beregu 5 orang.
Jalannya permainan
a. Sebelum
perlombaan dimulai, usia para peseta diteliti untuk menentukan kelompok usia.
Regu yang sudah diteliti kelompok usianya, kemudian diberi nomor (dua) untuk dipasang
di dada bagi peserta yang paling depan dandi punggung pemain paling belakang;
b. Peserta
dibagi dalam regu yang terdiri dari 5 orang atau 3 orang sesuai dengan jenis
yang diperlombakan;
c. Seluruh
peserta dibagi dalam seri setiap seri maksimal 5 regu sesuai dengan jumlah
lintasan (disesuaikan dengan jumlah regu peserta);
d. Selanjutnya
diadakan undian untuk menentukan lintasan masing – masing regu, dan untuk
menentukan urutan pemberangkatan dalam perlombaan. Undian dapat dilaksanakan
paling lambat satu hari sebelum perlombaan dimulai;
e. Sebelum
perlombaan dimulai, peserta dari masing – masing regu berdiri dibelakang garis
start di samping terompahnya;
f. Aba
– aba dalam perlombaan diberikan oleh juri pemberangkatan adalah bersedia, siap, ya (peluit dibunyikan
atau bendera start dikibarkan). Petugas lintasan berdiri dibelakang peserta dan
memperhatikan regu pada lintasan masing – masing dengan membawa bendera biru
merah;
g. Pada
aba – aba bersedia, peserta berdiri diatas terompah dengan jari – jari kaki
masuk kedalalm setengah lingkaran karet dan berpegangan satu sama lain.
Sebaiknya para peserta memakai sepatu olahraga agar kjaki tidak lecet. Peserta
regu berpegangan satu sama lain, boleh pada bahu atau pinggang;
h. Aba
– aba siap, peserta siap untuk
melakukan jalan;
i.
Aba – aba ya, peserta berjalan secepat – cepatnya
menempuh jarak 50 meter. Bila memungkinkan adanya stop watch, maka pada aba – aba ya,
stop watch dihidupkan dan pada saat peserta dan ujung terompah paling
belakang melawati garis finish stop watch
dimatikan;
j.
Regu dianggap sah,
apabila peserta terakhir dan ujung terompah bagian belakang melewati garis
finish dengan tidak ada kesalahan selama dalam perjalanan. Regu juga masih
dianggap sah, waulupun regu tersebut jatuh kedepan tetapi kedua kaki masih
kontak pada terompah meskipun tangan menyentuh tanah;
k. Peseta
/ regu dianggap gugur apabila,tidak berhasil mencapai garis finish; menginjak
lintasan peserta lain; dengan sengaja mengganggu peserta lain; salah satu kaki
atau kedua kaki menginjak tanah artinya salah satu kaki atau kedua kaki tidak
ada kontak dengan terompah; terompah rusak ditengah jalan; regu yang gugur
tidak perlu meneruskan sampai garis finish;
Pemenang
Regu dinyatakan sebagai pemenang apabila regu tersebut paling cepat memasuki garis finish, regu yang gugur dalam babak final tidak mendapat juara.
Regu dinyatakan sebagai pemenang apabila regu tersebut paling cepat memasuki garis finish, regu yang gugur dalam babak final tidak mendapat juara.
Petugas
Petugas terdiri dari;
Petugas terdiri dari;
¶ Jumlah
pemberangkatan 1 orang;
¶ Pengawas
lintasan 5 orang (diseduaikan jumlah lintasan)
¶ Juri
kedatangan lima orang;
¶ Pengambil
waktu (apabila ada stopwatch);
¶ Pencatat
waktu (apabila ada stopwatch).
Petunjuk
Perwasitan
Untuk melancarkan jalannya permainan terompah panjang, diperlukan petugas sebagai juri / wasit, perincian tugas darei masing – masing juri / wasit;
Untuk melancarkan jalannya permainan terompah panjang, diperlukan petugas sebagai juri / wasit, perincian tugas darei masing – masing juri / wasit;
¶ Juri
pemberangkata bertugas untuk;
ü Memberi
aba – aba pada pemberangkatan peserta dengan mempergunsksn bendera start atau
peluit;
ü Sebelum
start dimulai, juri pemberangkatan memanggil peseta untuk berdiri dibelakang
agris start dalam lintasan masing – masing;
ü Kemudian
juri pemberangkatan memperingatakn agar peserta tidak menginjak / melewati garis start;
ü Dalam
memberikan aba – aba, juri pemberangkatan mengambil tempat dibelakang peserta
dan tangan yang megang bendera direntangkan lurus kesamping;
ü Aba
– abab yang diberikan adalah: bersedia,
siap, ya atau peluit dibunyikan. Apabila menggunakan bendera maka pada aba
– aba ya bendera dinaikkan /
digerakkan keatas;
ü Juri
pemberangkatan dapat menentukan sah atau tidaksah start yang dilakukan oleh
setiap peserta.
¶ Pengawas
lintasan bertugas unutk:
ü Mengawasi
lintasan selama permainan berlangsung;
ü Sebelum
start dimulai, pengawas lintasan berdiri di belakang peseta yang akan diawasi
sambil membawa bendera biru ditangan kanan dan bendera merah di tangan kiri;
ü Pada
saat peserta mulai berjalan, pengawas lintasan mengacungkan bendera keatas dan
berjalan di belakang mengikuti peserta sampai garis finish. Apabila pengawas
mengacungkan bendera biru, maka permainan peserta tersebut sah. Tetapi apabila
peserta melakukan kesalahan maka bendera biru diturunkan dan bendera merah
dinaikkan dan regu peserta dianggap gugur;
¶ Juri
kedatangan bertugas untuk:
ü Menentukan
dan mencatat urutan kedatangan peserta;
ü Juri
kedatangan berada dibelakang garis finish;
¶ Pengambil
waktu bertugas untuk:
ü Menghitung
waktu dari mulai aba – aba ya atau peluit dibunyikan sampai peserta menginjak
atau melewati garis finish;
ü Pengambil
waktu berada atau bertempat dibelakang garis finish;
ü Pada
saat starter memberi aba – aba ya atau peluit dibunyikan , pengambil waktu
menghidupkan stopwatch, dan pada saat peserta paling belakang dan ujung
terompah paling belakang tepat berada digaris finish / melewati garis finish,
stopwatch dimatikan;
¶ Pencatat
waktu bertugas untuk:
ü Mencatat
waktu yang ditempuh setiap peserta pada formulir yang sudah disiapkan;
ü Pencatat
waktu berada dibelakang garis finish disamping pengambil waktu;
ü Waktu
dicatat sampai dengan per sepuluh detik, misalnya 10, 2 detik, dan seterusnya.
Nilai budaya
Dalam
hal ini kekompakan yang paling utama. Bagaimana kita bisa saling bersama-sama
melangkahkan kaki kita dengan teman yang ada di belakang kita. Selain itu
diperlukan konsentrasi yang kuat agar tidak terjatuh.
2.2.11
Permainan Tuju Lubang (Kepri)
Sejarah
Tuju lubang adalah suatu permainan yang terdapat di
Sedanau, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Riau. Penamaan permainan ini ada
kaitannya dengan kegiatan pemainnya yang berusaha untuk melontarkan kerang ke
arah/menuju sebuah lubang. Awal mula permainan ini, konon berasal dari kegiatan
para nelayan yang disebut berkarang. Berkarang adalah bagian dari pekerjaan
kaum nelayan yang dilakukan dengan cara menggali pasir di sekitar pantai untuk
mendapatkan kerang kelimpat[1]. Selain mengumpulkan kelimpat, berkarang juga dimanfaatkan oleh para nelayan
untuk memberi pelajaran awal kepada anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil laut,
sebelum mereka ikut mencari ikan di laut lepas. Kelimpat-kelimpat yang
didapatkan dari kegiatan berkarang tersebut, selanjutnya akan dibawa ke rumah
untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Kelimpat-kelimpat yang telah
dikonsumsi itu, biasanya kulitnya akan dibuang di sembarang tempat, di sekitar
pekarangan atau kolong rumah panggung para nelayan. Dan, kulit-kulit yang
banyak berserakan di sekitar rumah oleh anak-anak akhirnya dijadikan sebagai
alat untuk bermain dengan cara melemparkannya ke sebuah lubang dan diberi nama
tuju lubang. Lama-kelamaan, permainan tuju lubang tidak hanya digemari oleh
anak-anak nelayan saja, melainkan juga oleh anak-anak kaum bangsawan pada masa
kekuasaan Sultan Riau abad XVIII. Pada masa itu, anak-anak kaum bangsawan tidak
menggunakan kulit kerang sebagai peralatan bermainnya, melainkan telah
menggunakan uang-uang sen yang lebih berat dan relatif mudah mengenai sasaran
ketika dilemparkan.
Seiring dengan
perkembangan zaman, permainan tuju lubang tidak hanya menggunakan kulit kerang
kelimpat dan uang sen, melainkan juga dengan tutup botol minuman. Permainan
dengan menggunakan tutup botol minuman dan uang koin biasanya dilakukan oleh
anak-anak di kota-kota di daerah Riau seperti Pekanbaru dan Tanjungpinang
dengan sebutan permainan selubang. Sedangkan anak-anak yang tinggal di sekitar
pantai umumnya masih menggunakan kulit kerang sebagai alat permainannya.
Pemain
Tuju
lubang dapat dikategorikan sebagai permainan individual, dengan jumlah pemain
antara 2--5 orang. Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak-anak
perempuan dan laki-laki yang berusia 6--20 tahun. Namun dalam permainannya
tidak diperbolehkan kedua jenis kelamin tersebut bermain bersama-sama. Jadi,
laki-laki harus bermain dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Tempat
Permainan
Permainan
tuju lubang ini tidak membutuhkan tempat (arena) yang khusus. Ia dapat
dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah, pada sore hari sambil menunggu
waktu magrib. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang, atau di pekarangan
rumah. Di dalam arena permainan tersebut akan dibuat garis persegi empat yang
berukuran sekitar 2 x 2 meter yang di tengahnya dibuat sebuah lubang sebesar
uang benggol atau kurang lebih sebesar telur ayam dengan kedalaman sekitar 2
ruas jari telunjuk. Kemudian akan dibuat sebuah garis batas lontaran yang
jaraknya sekitar 6--12 langkah kaki pemain (ukurannya tergantung kesepakatan).
Peralatan
Permainan
Peralatan
yang digunakan adalah beberapa tagan yang dapat berupa kulit kerang, tutup
botol minuman serta uang logam pecahan 50-100 rupiah keluaran tahun 80-an
(jumlahnya tergantung dari kesepakatan pemain). Tagan-tagan tersebut nantinya
ada yang digunakan sebagai alat untuk melontar dan ada yang dijadikan sebagai
taruhan.
Aturan
Permainan
Aturan
Permainan tuju lubang adalah sebagai berikut: (1) pada saat melontar, salah
satu tangan harus melewati garis batas lontaran; (2) pelontar akan didenda satu
tagan (kulit/cangkang kerang, tutup botol atau uang coin) bila tagan yang
dilontarkan mengenai tagan lawan yang telah lebih dahulu dilemparkan; (3)
pelontar akan didenda satu tagan apabila tagan yang dilontarkannya masuk ke
lubang; (4) lontaran dianggap gagal, apabila tidak berhasil mengenai tagan
sasaran; (5) bila tagan yang dilontarkan berhimpit dengan tagan sasaran
(kampek), maka lontaran dinyatakan tidak sah; dan (6) lontaran juga dianggap
tidak sah apabila tagan yang dilempar dan tagan sasaran masuk ke dalam lubang.
Jalannya
Permainan
Ada
empat tahap yang dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama, penentuan
jumlah taruhan, yaitu masing-masing peserta akan bermusyawarah untuk menentukan
jumlah tagan taruhan yang harus disediakan oleh setiap peserta. Jumlah tagan
yang biasanya dijadikan taruhan 5--12 buah, sebab jika terlalu banyak permainan
menjadi tidak menarik dan akan cepat selesai. Kedua, tikam undi (pengundian),
yaitu sebelum mulai bermain, akan dilakukan pengundian terlebih dahulu, dengan
cara melontarkan tagan ke arah lubang. Pemain yang dapat memasukkan tagannya ke
dalam lubang akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang
dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang, maka tagan yang paling dekat dengan
lubang akan memulai permainan. Apabila tagan yang dilontarkan mengenai tagan
lawan yang lebih dahulu dilontarkan (pintis), maka seluruh peserta harus
melontarkan kembali tagannya. Ketiga, membuang taruhan. Pemain yang mendapat
kesempatan memulai permainan akan mengumpulkan tagan taruhan dari setiap pemain
untuk dilontarkan ke arah lubang. Apabila tagan yang dilontarkan ada yang masuk
ke lubang, maka tagan tersebut dapat diambil dan menjadi milik si pelontar.
Sedangkan tagan lain yang tidak masuk lubang, akan ditunjuk pemain lain (lawan)
untuk dikenai oleh si pelontar. Tagan yang ditunjuk biasanya adalah tagan yang
posisinya sulit untuk dikenai, atau apabila terkena akan mengenai tagan yang
lain. Keempat, tikam (melontar), yaitu pemain akan mulai melontarkan tagannya
ke arah tagan sasaran. Apabila dapat mengenai tagan yang ditunjuk lawan, maka
si pelontar berhak mengambil seluruh tagan taruhan yang berada di sekitar
lubang. Kelima, tukar bawa. Apabila tidak ada satu tagan taruhan pun yang dapat
dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain. Pemain yang
dapat mengumpulkan tagan taruhan paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.
Nilai
Budaya
Nilai
yang terkandung dalam permainan tuju lubang adalah ketangkasan, kecermatan,
keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan keuletan tercermin
dari usaha para pemain untuk dapat mengenai tagan taruhan, walaupun posisinya
terkadang sangat sulit. Nilai-nilai tersebut, dapat berfungsi sebagai acuan
dalam menghadapi segala rintangan dan halangan yang dialami dalam menjalani
kehidupan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari kesediaan menyerahkan tagan
yang menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai pemenangnya.
2.2.12 Permainan Besimbang (Kepri)
Sejarah
Besimbang atau bermain simbang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau,
Kepulauan Riau. Besimbang mirip dengan bekel, hanya saja, bola “induk” yang
digunakan bukanlah bola bekel yang dapat memantul, melainkan terbuat dari
kulit-kulit kerang ataupun kulit siput yang bagus dan licin. Permainan ini
telah ada sejak zaman kekuasaan Sultan Riau pada abad XVII.
Pemain
Jumlah pemain besimbang 2--6 orang, dengan usia 6--7 tahun. Permainan ini milik
kaum perempuan. Artinya, hanya kaum perempuan sajalah yang memainkannya.
Tempat dan Peralatan Permainan
Besimbang tidak
memerlukan tempat yang luas. Oleh karena itu, dapat dikatakan dapat dimainkan
di mana saja, seperti: beranda rumah sembari menunggu magrib atau sehabis
mengaji, dan di perladangan sambil menunggu tanaman ladang. Peralatan yang
digunakan adalah sebuah pelambung yang terbuat dari kulit kerang atau siput,
dan buah simbang yang berjumlah 5 atau 6 buah yang juga terbuat dari kulit
kerang kerangan (dapat diganti dengan bebatuan yang berukuran kecil).
Aturan dan Proses Permainan
Ada dua cara
dalam bermain simbang, yaitu: main nyurang dan main berundung. Main nyurang,
artinya bermain seorang-seorang (individual) dengan jumlah pemain 2--4 orang.
Sedangkan, main berundung adalah bermain dengan sistem beregu yang terdiri dari
dua regu dan jumlah pemainnya 3--6 orang. Aturan mainnya, baik itu main nyurung
maupun berundung nyaris sama, yaitu seseorang harus melambungkan “bola induk”,
kemudian mengambil buah simbang yang berjumlah 5--6 buah. Sekali melambungkannya
pemain diharuskan mengambil buah simbang yang jumlahnya bertambah banyak
(lambungan yang pertama sebuah; kedua dua buah; dan seterusnya). Jika seluruh
simbang telah terambil, maka yang bersangkutan mendapat angka. Sebaliknya, jika
sedang melambungkan “bola induk” tetapi tidak berhasil mengambil simbang yang
ditentukan, maka dia dinyatakan des dan digantikan oleh pemain lainnya.
Perbedaan antara main nyurung dan berundung adalah pada main nyurung posisi
duduk para pemainnya melingkar. Kemudian, penggiliran mainnya mengikuti arah
kebalikan jarum jam. Sedangkan pada main berundung, giliran bermainnya harus
selang seling (lawan, kawan, lawan, kawan dan seterusnya). Mengingat bahwa
pemain harus mempunyai kecepatan tangan dan ketepatan saat mengambil simbang, maka
pemain dituntut untuk mempunyai keahlian yang cukup. Oleh karena itu, hanya
anak yang telah berumur di atas 5 tahun saja yang dapat bermain simbang
Perkembangan permainan simbang saat ini hanya terjadi pada “bola induk” dan
simbang-nya saja. Dalam hal ini tidak lagi menggunakan kulit kerang kerangan,
melainkan bola bekel, bola tenis, dan lain sebagainya yang dapat memantul di
semen atau tanah.
Nilai Budaya
Nilai yang
terkandung dalam permainan yang disebut sebagai besimbang ini adalah kecermatan
dan sportivitas. Nilai kecermatan tercermin dalam melambungkan “bola induk”
sembari mengambil simbang. Ini membutuhkan perkiraan dan kecermatan. Sebab jika
tidak, tentunya jumlah simbang yang terambil tidak sesuai dengan peraturan yang
telah di tentukan. Nilai sportivitas tercermin dari adanya kesadaran bahwa
dalam permainan tentunya ada pihak yang kalah dan memang. Oleh karena itu,
setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. (pepeng)
2.2.13 Permainan Pacu Jalur (Kuantan Singingi, Riau)
Asal Usul
dan Perkembangan
Kuantan
Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam Provinsi
Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada
gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul
jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau
harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah
lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah
(gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan
tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar
alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa
wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.
Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya
berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi
diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat
disebut sebagai “pacu jajur”.
Pada
awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai
Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW,
Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak
selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan
hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah
diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan
tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan
buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan
empat buah marewa2 yang ukurannya
berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh
ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa
tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).
Ketika
Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan
yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam
merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31
Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat
Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu
Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini
masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu
jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur
diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan
Republik Indonesia (17- Agustusan).
Pemain
Pacu
jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun
secara beregu. Setiap regu jumlah anggotanya antara 40--60 orang (bergantung
dari ukuran jalur). Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas:
tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru
mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara
menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi
tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama.
Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas
mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.
Tempat
Permainan
Pacu
jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan
di atas, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di
bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur
pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan
pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya
mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km
yang ditandai dengan tiga tiang pancang.
Peralatan
Permainan
Peralatan
permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang
kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang
jalur antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter.
Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga
depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo
(tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8)
lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur);
(10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir);
dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk
setiap pemain.
Bagian
selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak.
Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan
bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti,
Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja
Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat
Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan
lain-lain. Tujuan dari pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap
jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.
Untuk
dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau
kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang.
Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam
pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur.
Hal
pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana pembuatan jalur melalui
musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka
adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh
seorang pemuka desa atau pemuka adat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka
kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis kayu. Pohon yang dicari adalah banio
atau kulim kuyiang yang panjangnya antara 25--30 meter dengan garis tengah
antara 1½ --2 meter. Kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, tahan air, juga
dipercayai ada “penunggunya”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan
ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan
semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon agar pohon itu tidak hilang
secara gaib.
Kayu
yang sudah disemah oleh pawang, selanjutnya ditebang dengan kapak dan beliung.
Setelah itu, kayu diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai
dengan panjang jalur yang akan dibuat. Setelah diabung kedua ujungnya, kemudian
kayu dikupas kulitnya dan diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung.
Apabila jalur sudah terbentuk, maka langkah berikutnya adalah meratakan bagian
depan (pendadan), yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke
ujung. Kemudian disusul dengan tahap mencaruk atau melubangi dan menghaluskan
bagian dalam kayu dengan ketebalan tertentu. Selanjutnya menggaliak atau
membalikkan dan menelungkupkan kembali jalur untuk dibentuk dan dihaluskan.
Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga
ketebalan jalur agar dapat seimbang ketika berada di air. Cara mengukurnya
antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup
lagi dengan semacam pasak. Setelah terbentuk, maka jalur dibalikkan kembali dan
kemudian dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu membuat haluan dan kemudi.
Apabila haluan dan kemudi telah terbentuk, maka jalur akan dibawa ke kampung
untuk diasapi dan disertai dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur
diluncurkan ke sungai, ada suatu upacara lagi yang bertujuan agar jalur dapat
berlayar dengan baik ketika sudah berada di air.
Aturan
Permainan
Pacu
jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu antarbanjar atau
dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; dan (3) pacu antarkecamatan yang ada
di wilayah Kuantan Sengingi. Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu
jalur tersebut tergolong mudah, yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish
terlebih dahulu dari regu lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan
pacu jalur biasanya dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan
sistem gugur untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh
besar.
Jalannya
Permainan
Perlombaan,
baik antardusun, antardesa, maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan
meriam. Meriam digunakan karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar
oleh peserta lomba, mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang
menyaksikan perlombaan. Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan
urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada
di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap
(berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Dan, setelah wasit membunyikan meriam
untuk yang ketika kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui
jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas
jalur serta jumlah anak pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan,
karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak
ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan
kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur.
Dalam
pertandingan jalur, apabila menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah
tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu
kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem
setengah kompetisi, setiap regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya
regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
Nilai
Budaya
Nilai
budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan,
keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat
para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai
ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang dilakukan oleh
anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar dapat melaju dengan cepat dan
tidak tenggelam. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu yang berusaha
bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat dan memenangkan
perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang
tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima
kekalahan dengan lapang dada. (ali gufron)
TANJUNGPINANG
--- Perahu Jong merupakan permainan rakyat pesisir yang masih bertahan hingga
saat ini. Permainan ini banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda di
pulau-pulau di Kepuluan Riau. Uniknya, Perahu Jong berupa replika miniatur
perahu layar tetapi tidak dikemudikan oleh manusia, melainkan berlayar dengan
mengandalkan terpaan angin.
Permainan
rakyat ini biasanya dilakukan di pantai dengan beberapa orang, biasanya
masyarakat melakukan perlombaan Perahu Jong dengan cara siapa yang tercepat
sampai di pantai atau di darat maka itulah yang menjadi pemenangnya.
Untuk
pembuatan Perahu Jong harus mempunyai keahlian tersendiri, karena harus memilih
kayu yang baik dan tidak sembarangan kayu yang dipakai untuk membuat Perahu
Jong. Biasanya, digunakan kayu pulai kering, karena kayu pulai sangat ringan
dan tahan terhadap air laut. Tidak hanya kayu pulai yang menjadi bahan baku
pembuatan Perahu Jong, tetapi bahan untuk layar biasanya masyarakat pesisir
menggunakan kain atau plastik yang berwarna warni. Untuk memperindah penampilan
biasanya dibubuhi cat berwarna-warni.
Pembuatan
Perahu Jong juga harus dengan keahlian khusus, harus sabar dan teliti karena
bila tidak sempurna maka Perahu Jong akan berlayar tidak seimbang yang
mengakibatkan tenggelam atau berlayar tetapi tidak berlayar lurus.
Dan pembuatan
perahu juga memakan waktu yang tidak sebentar, untuk membuat satu buah Perahu
Jong, memakan waktu kurang lebih dua minggu, belum termasuk pengecatan dan
sedikit ritual agar dalam perlombaan bisa menang. Bila ingin membuat Perahu
Jong, harus teliti betul dan harus seimbang, jika ingin menghasilkan sebuah
perahu jong yang baik.
Permainan
Jong dulu hanya untuk menghilangkan penat di kala sore hari sesudah melaut,
biasanya kami bermain jong dengan empat atau lima orang di pesisir
pantai. Sekarang saya wariskan juga kepada anak saya dan cucu, cara untuk
membuat perahu jong, dari mulai memilih kayu pulai yang baik dan bahan-bahan
lainnya, karena bila tidak pas maka akan menghasilkan perahu jong yang cacat.
Bila sudah cacat maka berlayarnya perahu jong tersebut tidak akan sempurna,
bisa jadi berlayar selalu miring kearah kiri atau berlayar miring ke kanan.
Pemerintah
Kota Tanjungpinang, terus berupanya untuk mempertahankan atau melestarikan
salah satu tadisi kebudayaan melayu ini. Salah satu upaya dari Pemko
Tanjungpinang yakni permainan rakyat pesisir berupa perlombaan Perahu Jong,
diikutsertakan untuk memeriahkan event wisata tahunan yang digelar Pemko
Tanjungpinang.
Untuk ukuran
yang masing-masing perahu jong memiliki ukuran yang berbeda-beda. untuk ukuran
kecil panitia menetapkan dengan ukuran 75 x 99 cm, untuk ukuran sedang, 100 x
119 cm sedangkan untuk perahu jong ukuran besar yaitu 120 x 180 cm.
Nilai Budaya
Dalam permainan ini kita
diajarkan untuk dapat berkonsentrasi penuh, kerja keras dan yang paling utama
adalah kesabaran yang kuat untuk dapat mencapai daratan.
2.2.15
Permainan
Egrang
Sejarah
Egrang adalah permainan tradisional Indonesia yang belum diketahui secara pasti dari daereah mana asalnya, tetapi dapat dijumapi diberbagai daeerah dengan nama berbeda seperti ; sebagaian wilayah sumatera barat dengan nama Tengkak – tengkak dari kata tengkak (pincang), Ingkau yang bahasa Bengkulu berarti sepatu bambu, Egrang dalam bahasa lampung berarti terompah pancung yang tgerbuat dari bambu bulat panjang. Sedang Jawa Tengah dengan nama Jangkauan yang berasal dari nama burung berkaki panjang. Tujuannya adalah untuk mengisi waktu luang, bermain dan meningkatkan kemampuan motorik. Manfaatnya adalah kita dapat merasakan gembira, kualitas kebugaran meningkat, kemampuan motorik meningkat, dan bersosialisasi. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak – anak, remaja, dan dewasa.
Egrang adalah permainan tradisional Indonesia yang belum diketahui secara pasti dari daereah mana asalnya, tetapi dapat dijumapi diberbagai daeerah dengan nama berbeda seperti ; sebagaian wilayah sumatera barat dengan nama Tengkak – tengkak dari kata tengkak (pincang), Ingkau yang bahasa Bengkulu berarti sepatu bambu, Egrang dalam bahasa lampung berarti terompah pancung yang tgerbuat dari bambu bulat panjang. Sedang Jawa Tengah dengan nama Jangkauan yang berasal dari nama burung berkaki panjang. Tujuannya adalah untuk mengisi waktu luang, bermain dan meningkatkan kemampuan motorik. Manfaatnya adalah kita dapat merasakan gembira, kualitas kebugaran meningkat, kemampuan motorik meningkat, dan bersosialisasi. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak – anak, remaja, dan dewasa.
Peraturan
Permainan
1. Lapangan
1. Lapangan
Lapangan
yang dipergunakan disarankan datar dan luas (bisa di stadion, lapangan umum,
bahkan jalan raya, bila memungkinkan). Ukuran lapangan adalah panjang minimum
50 m dan lebar 7 ½ m dibagi lima garis lintasan masing – masing 1 ½ meter.
2. Peralatan
Alat
yang digunakan adalah bambu yang dibuat sedemikian rupa, sehingga permukannya
rata. Pada ukuran 50 cm dari bawah dibuat tempat berpijak kaki yang rata dan boleh
lepas dengan kain atau busa. Alat egrang dibagi menjadi dua, berdasar kelompok
umur pemakaiannya, masing – masing kelompok umujr 6 – 12 tahun dan kelompok
umur 13 tahun keatas. Secara spesifik, ukuran egrang tersebut adalah sebagai
berikut;
1) Umur
6 – 12 tahun :
Tinggi bambu 1 ½ meter
Ukuran tempat berpijak
:
¶ Tinggi : 50 cm
¶ Lebar : 15 – 20 cm
¶ Panjang : 7 ½ cm
2) Umur
13 tahun keatas
Tinggi bambu 2 ½ m
Ukuran tempat berpijak:
¶ Tinggi : 50 cm
¶ Lebar : 20 cm
¶ Panjang : 10 cm
Pemain
Permainan egrang bisa dimainkan oleh wanita atau laki – laki dengan mengenakan pakian olahraga yang pantas, kelompok umur anak – anka 6 – 12 tahun dan unutk taruna / remaja / dewasa 13 tahun keatas.
Permainan egrang bisa dimainkan oleh wanita atau laki – laki dengan mengenakan pakian olahraga yang pantas, kelompok umur anak – anka 6 – 12 tahun dan unutk taruna / remaja / dewasa 13 tahun keatas.
Jalannya permainan
a. Sebelum
perlombaan dimulai, para peserta diteliti usianya untuk menentukan kelompok
umur masing – masing. Dalam meneliti umur peserta didasarkan pada surat
keterngan yang berwenang. Hal ini dilakukan pada waktu penyelenggaraan resmi.
Kalau dalam perlombaan cukup dengan mengira – ngira saja.
b. Peserta
dibagi menjadi beberapa kelompok dalam kelas masing – masing 5 (lima) orang
sesuai dengan jumlah llintasan. Perlombaan dalam seri, jumlah atlet sesuai
dengan jumlah lintasan.
c. Selanjutnya
diadakan undian untuk menentukan urutan pemberangkatan perlombaan. Undian
diadakan agar jangan ada yang merasa dirugikan.
d. Perkelompok
dipelombakan dalam seri, dari garis start sampai garis finish dipimpin juri
start dan waktu dicatat oleh petugas pencatat waktu.
e. Sebelum
perlombaan dimulai, para atlet berdiri dibelakang garis start dengan memegang
egrang.
f. Aba
– aba perlombaan oleh wasit / juri start adalah: bersedia, siap , Ya. Pada aba
– aba bersedia tangan memegang egrang (kanan dan kiri), aba – aba siap satu
kaki (kiri atau kanan) diatas tempat
berpijak dan setelah aba – aba YA lari.
Pengganti “YA” dapat dilakukan dengan suara peluit.
g. Para
atlet dinyatakan gugur apabila:
¶ Menginjak
garis lintasan
¶ Kaki
jatuh menyentuh lantai atau lintasan
¶ Dengan
sengaja mengganggu atlet lain.
h. Waktu
terbaik dalam seri (2 atau 3orang) berhak mengikuti seri berikutnya. Untuk maju
ke seri berikutnya, dapat diatur dalam peraturan perlombaan khusus apakah hanya
2 atau 3 orangwaktu terbaik dengan memperhatikan jumlah peserta.
i.
Atlet yang terganggu
jalannya oleh atlet lainnya boleh meneruskan larinya atau mengulang.
j.
Atlet, yang mengambil
lintasan orang lain dinyatakan gugur.
Pemenang
¶ Pemenang
ditentukan berdasarkan kecepatan waktu
¶ Waktu
yang diambil adalah kaki terakhir menyentuh garis finish.
Wasit, juri dan pencatat waktu
(timer)
¶ Wasit
bertugas mengawasi seluruh jalannya perlombaan;
¶ Juri
pemberangkatan / timer;
¶ Juri
lintasan, mengawasi lintasan apakah ada pelari yang menginjak garis;
¶ Juri
kedatangan mengawasi perlombaan di garis akhir;
¶ Pencatat
waktu (timer) mencatat waktu para
pelari.
Nilai
Budaya
Permainan
ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Untuk itu kita perlu kehati-hatian
agar tidak terjatuh. Dalam hal ini kita diajak untuk bersikap hati-hati dan
konsentrasi.
2.2.16
Permainan Kudo Kepang
atau Porang-porangan
(generasi terakhir)
Permainan
anak-anak kampung ini tampak tradisional, dengan memanfaatkan tanaman disekitar
kampung. Sekilas jika anak yang telah di dandan dengan pakaian alam ini jika
muncul dari tepi hutan, tentu akan membuat kita terkejut, namun itulah sebuah
permainan yang dirancang oleh anak-anak kampung yang kreatif.
Aturan permainan
Dua
kelompok yang melakukan penyerangan dengan dikepalai oleh satu orang ketua
dengan berpakaian tanaman, sedangkan yang lainnya berpakaian seadanya, dengan
membawa tombak kayu. Jika kepala kelompok sudah ditemukan, maka kelompok
tersebut akan kalah.
Sesuai
data terbaru yang didapat dari Bapak Zuhdi umur 40 tahun, bahwa permainan ini
disebut dengan Kudo Kepang, dimulai pada tahun 70an, hanya terdapat di desa
Pawan, Kecamatan rambah, Kabupaten Rokan
Hulu. Biasanya dalam permainan ini dibuat dua atau tiga orang yang dibalut,
dan bersama sama menghibur adik-adik di kampung pada saat perayaan seperti 17
agustusan, hari besar Islam hari-hari libur, saat masuk kampung kudo kepang
digerumuni oleh masyarakat, untuk menghindari kejahilan anak-anak sang pelaku
membawa tongkat dari pelepah kincong (kincung), sebagai senjata menakutkan
adik-adik yang suka jahil. Permainan ini terakhir dilaksanakan tahun 2006, saat
ini tidak lagi dibuat oleh anak anak jaman sekarang.
Nilai Budaya
Dalam
permainan ini kita diajak untuk bekerja sama satu dan yang lainnya. Dan itu
terlihat pada saat kita menjaga kepala kelompok agar tidak ditemukan.
2.2.17
Permainan Tradisional Kuansing,
Sondok-Sondokan
Sejarah
Sondok-sondokan adalah permainan tradisional di
Kuansing tepatnya di Kenegerian Sentajo. Sondok-sondokan atau cari-carian
merupakan permainan anak-anak tempo dulu, dimana permainan ini diangkat dari
disebuah desa yang ada di Kenegerian Sentajo lebih tepatnya di Koto Sentajo.
Apakah permainan ini ada diseluruh Desa sekenegerian sentajo? Penulis tidak tau
persis, karena permainan ini ada pada masa kanak-kanak, dimana kegiatan yang
dilakukan anak-anak pada masa itu selalu tidak akan terlalu jauh dari
lingkungan mereka, maklumlah kehidupan dikampung pada tahun 80an.
Sondok-sondok an = cari-carian /
sembunyi
Pelak = Kebun yang dipagar
Tonggak = Tiang
Olun = Belum
Pelak = Kebun yang dipagar
Tonggak = Tiang
Olun = Belum
Koto Sentajo
terutama pada dusun Gonting memiliki kontur dengan sedikit berbukit sehingga
semakin nyaman digunakan untuk permainan Sondok-sondok an, apalagi ditambah
dengan adanya pelak milik masyarakat, dimana pelak ini semangkin menciptakan
semangat permainan bagi para peserta, sebab didalam pelak ini selalu terdapat
tumbuh-tumbahan yang ditanam pemiliknya untuk kebutuhan hidup sehari-hari
seperti Pisang, Jeruk nipis, terong, Kunyit dan berbagai keperluan dapur
lainnya. Dengan adanya berbagai tanaman dalam pelak Tersebut semakin elok
sebagai tempat permainan ini.
Permainan
Sondok-sondok an terbagi menjadi 2 Jenis Permainannya yaitu Tonggak Dingin dan
Tonggak Bantuan, dimana kedua permainan ini mempunyai perbedaan, tonggak dingin
biasanya dilakukan oleh anak-anak yang lebih kecil dari peserta Tonggak
Bantuan, dimana peserta Tonggak Bantuan berumur antara 11 – 14 tahun, permainan
tonggak dingin selalu dilakukan pada siang hari, sedangkan Tonggak bantuan
Dilakukan Pada malam hari pada saat terang bulan, baik pada saat cahaya bulan
penuh maupun pada cahaya bulan sabit, dimana pada saat bulan sabit akan lebih
menantang karena cahaya dengan sedikit gelap dan samar-samar.
Waktu
permainan ini biasanya dilakukan setelah pulang mengaji sekitar jam 20.00 WIB,
pada malam-malam sekolah biasanya sampai jam 22.00 WIB, tapi tidak terlalu
sering permainan ini dilakukan pada malam-malam tersebut kecuali hari libur
sekolah, biasanya permainan ini sering dilakukan pada malam minggu, dimana pada
malam minggu biasanya dilakukan sampai larut malam, dan tidak tertutup
kemungkinan sampai jam 00.00 WIB.
Dalam
permainan ini menggunakan Tonggak sebagai alat bantu utama, dimana tonggak yang
digunakan yaitu Pohon yang ada disekitaran lokasi permainan, dimana tonggak
yang pakai untuk permainan tersebut hanya 1 pohon. Pada tulisan ini hanya akan
menceritakan permainan sondok-sondok an tonggak bantuan.
Penetapan kawan
Sebelum
permainan dimulai maka harus dilakukan dulu penetapan kawan masing-masing,
dimana satu regu hanya terdiri dari 2 (dua) orang, dalam pembagian kawan ini
bisa ditentukan secara langsung seperti sit jari dan bisa juga dengan cara
undian, walaupun permainan dimalam hari pesertanya bukan saja laki-laki namun
perumpuan juga tidak ketinggalan untuk ikut serta, jumlah regu yang akan
bermain tidak terbatas, sebab dalam hal ini tergantung berapa jumlah yang ada
pada malam itu, idealnya dalam permainan paling sedikit sekitar 7 Regu atau 14
orang, semakin banyak regu dalam permainan ini semakin seru dalam
pelaksanaannya.
Penentuan Batas
Apabila regu
atau pasangan masing-masing telah didapat dan ditetapkan, langkah berikut
adalah menetapkan batas-batas persembunyian yang akan disepakati bersama,
melalui musyawarah yang tidak terlalu lama biasanya batas-batas bisa
ditentukan, jarak terjauh dari tiang biasanya berkisar 250 M, dalam penetapan
batas ini tidak terfokus pada jauhnya jarak, namun biasanya ditentukan dengan
menunjuk pada objek-objek tertentu seperti jalan, rumah penduduk, Pinggir Sawah
dan sebagainya.
Pada
kesempatan ini juga membahas pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing
regu, dimana pelanggaran yang dilakukan akan mengakibatkan kekalahan akan
berpindah pada pihak yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Ada
dua pelanggaran yang harus diwaspadai oleh para peserta pertama memegang
tonggak sebelum yang kalah memegang Tonggak tersebut. Kedua Melewati batas yang
telah ditetapkan melebihi batas toleransi, pada pelanggaran ini biasanya sangat
dituntut kejujuran, sebab apabila ada salah satu peserta melewati batas dan
diketahui oleh peserta selain regu yang melanggar, dengan saksi lebih dari 3
orang, maka yang mengetahui tadi akan melapor pada yang kalah, maka
berpindahlah kemenangan pada yang kalah tadi dan permainan harus di ulang.
Inti Permainan
Saatnya
permainan dimulai, tapi sebelum permainan dimulai tentu ada yang kalah, dimana
yang kalahlah yang akan mencari orang yang ber sembunyi nanti, dalam penentuan
regu kalah biasanya yang lazim dilakukan dengan cara sit jari, dimana salah
seorang dari masing-masing regu mengadakan sit jari secara bersama-sama.
Setelah satu regu yang kalah telah diketahui barulah dimulai permainan sondok
sondok an tonggak bantuan tersebut.
Awal
permainan ini dimulai dimana regu (2 orang) yang kalah dengan
memejamkan/menutup mata sambil menghadap kearah tonggak, kemudian pemenang
sambil berlari mencari persembunyian, sambil berlari biasanya salah satu atau
beberapa peserta sambil mengucapkan olun-olun berarti waktu yang kalah untuk
membuka mata belum selesai. Lalu bagaimana isyarat bagi yang kalah bahwa satiap
peserta betul-betul telah bersembunyi? Biasanya isyarat bagi regu yang kalah
saatnya untuk membuka mata yaitu setelah tidak ada lagi terdengar suara peserta
yang mau bersembunyi, dimana saat kondisi seperti itulah yang kalah untuk
membuka matanya.
Apabila semua
telah bersembunyi suasana dalam keheningan malam akan terasa pada saat itu, dua
orang yang kalah tadi bersiap untuk mencari setiap peserta permainan, dalam
percarian kedua peserta yang kalah tersebut harus berpencar atau berpisah arah,
ini dilakukan agar lebih konsentrasi dalam pencarian, selama dalam pencarian
inilah tonggak tidak boleh di pegang oleh peserta yang menang, kalau ada salah
seorang yang memegang tonggak tersebut maka dengan kawan satu regu akan menjadi
pihak yang kalah, tapi biasanya jarang terjadi hal tersebut sebab semua peserta
berusaha mencari lokasi yang sulit dan kalau bisa berada pada lokasi terjauh
dari tonggak.
Pencarian
yang dilakukan memang penuh dengan tantangan sebab peserta yang kalah tersebut
harus berjalan sendiri-sendiri dalam menyusuri setiap arena, sampai memanjat
Pelak sekalipun harus dilakukan karena setiap pelak biasanya dipagar, setiap
medan harus ditelusuri dengan cara diam-diam, kalau bersuara dalam pencarian
akan diketahui oleh peserta yang sedang bersembunyi, biasanya peserta yang
kalah harus berusaha datang dari belakang peserta yang sedang bersembunyi
tersebut, kalau datang dari depan maka akan ketahuan sehingga yang bersembunyi
dengan diam-diam juga bersiap untuk berpindah ketempat lain, cara berpindahnya
pun harus penuh kejelian dan kehati-hatian sebab kalau tidak di keheningan
malam nan sunyi suara sekecil apapun terkadang bisa terdengar sehingga akan
keliatan oleh sipencari.
Berbagai cara
persembunyian merupakan sudah menjadi hal biasa dilakukan oleh peserta yang
menang, mulai dari berdiri, jongkok, maupun sambil tiarap. Ini tergantung pada
kondisi yang ada, lalu kapan peserta menyerah dalam pencarian? Peserta menyerah
dalam pencarian biasanya setelah keliatan oleh peserta yang kalah, sambil
menyebut nama salah satu peserta yang menang setelah kelihatan, maka yang
menang tadi akan keluar pertanda persembunyiannya telah berakhir, biasanya
kalau sipencari atau yang kalah berpapasan langsung dengan yang bersembunyi
pasti orangnya langsung diketahui, namun jika yang sedang dicari agak berjarak
tentu akan samar-samar adanya, maka dalam hal seperti ini peserta yang kalah
biasanya menandai ciri-ciri dari peserta sebelum bersembunyi, mulai dari warna
celana, warna baju bahkan postur tubuh, kalau peserta yang sedang dicari hanya
sedikit terlihat lalu lari, biasanya sipencari menyebut nama peserta dimaksud
dengan cara berulang-ulang, kenapa demikian? Biasanya yang menang tidak akan
menyerah begitu saja namun kejujuran para peserta sangat kelihatan dan tidak
akan membela diri secara berlebihan dalam keadaan seperti ini.
Peserta yang
kalah harus mencari sebanyak mungkin semua peserta yang menang kalau bisa
semuanya ditemukan, sebab kalau tidak akan menjadi rumit, mengapa demikian?
Misalnya yang ada 10 Regu otomatis yang bersembunyi ada 9 regu dengan jumlah 18
orang, setelah didapat peserta yang bersembunyi yang kalah harus kembali ke
tonggak untuk memegang tonggak sambil menyebut nama peserta yang telah didapat,
setelah yang kalah memegang tonggak maka keduanya harus berbagi tugas, salah
satu diantara mereka harus menjaga tonggak, jangan sampai orang yang belum
dapat atau ditemui memberi bantuan dengan memegang tonggak, jika ini terjadi
maka permainan harus di ulang dan yang kalah tidak akan berubah.
Karena itulah
yang kalah harus mencari sebanyak mungkin peserta yang bersembunyi dan kalau
biasa seluruhnya, kalau semua yang bersembunyi bisa ditemui maka yang kalah
akan berpindah pada regu dimana peserta yang ditemui lebih dulu, tapi hal
seperti itu sangat jarang terjadi dan dijumpai, 9 atau 10 dari 18 orang saja
ditemui biasanya itu sudah banyak, jika yang dapat katakan dalam pencarian awal
10 orang, maka 8 orang yang masih bersembunyi dan akan memberikan bantuan pada
peserta sudah dapat. Lalu bagaimana yang 8 orang ini mengetahui bahwa yang
kalah telah memegang tonggak? Biasanya peserta yang telah ditemui atau dapat
berteriak sambil mengatakan “la dapek bori bantuan atau sudah dapat kasih
bantuan” dengan ucapan berulang-ulang, setelah ucapan terdengar oleh peserta
yang masih bersembunyi, disinilah saatnya perserta yang tersisa 8 orang
tersebut mulai merapat/mendekati tiang, sembil mendekat mereka harus melakukan
dengan berhati-hati, sebab kalau tidak 1 orang yang mencari akan terus
mengintai dan yang 1 lagi menjaga tonggak pun selalu waspada, pandangan dan
gerakan sipenjaga tonggak harus liar dan tidak boleh lalai sebab peserta yang
masih bersembunyi akan selalu memberikan bantuan dari segala sisi.
Jarangnya
terjadi semua peserta ditemuai pada pencarian besama (kedua orang yang kalah)
baru memegang tonggak, ini dikarenakan pencarian yang lama dan permainan akan
membosankan, namun apabila seberapa dapat segera dilakukan pemegangan tonggak
maka permainan akan memberikan warna yang menghibur, peserta yang telah dapat
harus sportif dan tidak boleh ikut berkeliaran di arena tonggak bantuan
tersebut, sebab akan mengganggu peserta yang sedang kalah dalam pencariannya.
Durasi waktu
3 atau 4 jam permainan, yang kalah bisa saling bergantian dan bisa juga selama
3 atau 4 jam tersebut hanya satu regu saja yang merasakan posisi kekalahan, hal
ini tergantung situasi dan kondisi terkadang pencarian bisa cepat
terselesaikan. Kalau nasib lagi baik yang kalah biasanya sebentar memerlukan
waktu dalam pencarian tersebut, namun apabila kurang beruntung nikmatilah
kekalahan itu sampai berhentinya permainan dan bahkan masih banyak peserta yang
belum di temui ketika permainan itu selesai, ketika permainan harus dihentikan
karena malam sudah larut, biasanya himbauan untuk berhenti disampaikan oleh
peserta yang ada disekitar tonggak.
Hal-hal yang
unik terkadang ada terjadi dalam permainan sondok-sondok an ini, karena peserta
yang tersisa terkadang sangat sulit untuk dicari atau ditemui, seharusnya
mereka yang masih bersembunyi memberikan bantuan pada teman yang sudah dapat,
malah berada pada tempat-tempat yang tidak disangka dan terkadang melanggar
atauran permainan, seperti misalnya melewati batas, manjat pohon dan makan
pulang kerumah. Dalam hal melewati batas yang tentu melanggar kesepakatan
biasanya sulit untuk di ketahui oleh peserta lain selama permainan, Sedangkan
manjat pohon dan pulang makan tidak masuk dalam aturan pelanggaran. Hal-hal
seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dan tidak akan menjadi
masalah besar dalam permainan ini. Kelakuan peserta seperti itu baru biasa
diketahui esok harinya oleh 1 atau 2 orang, biasanya diketahui dari mulut orang
berbuat hal-hal tersebut.
Nilai Budaya
Hal-hal
positif yang bisa diambil dari permainan sondok-sondok an/cari-carian yang
harus ditanamkan sejak dini antara lain, keberanian dalam kemandirian,
kejujuran dalam aktifitas, silahtuhrahmi antar peserta selalu terjalin.
2.2.18 Permainan Layang - Layang
Definisi
Layang-layang merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan, layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantu memancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.
Layang-layang merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan, layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantu memancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.
Fungsi
Layang-layang
Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan. Yang paling umum
adalah layang-layang hias (dalam bahasa Betawi disebut koang) dan layang-layang
aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat
mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan
oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada
masa itu.
Di beberapa daerah Nusantara layang-layang dimainkan sebagai
bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian.
Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka
dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat
dijumpai di Sulawesi. Diduga pula, beberapa bentuk layang-layang tradisional
Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai
daun.
Di Jawa Barat, Lampung, dan beberapa tempat di Indonesia
ditemukan layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing.
Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan
dihubungkan dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain,
layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.
Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca
telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika
Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk
menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.
Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah
dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut.
Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa
seperti layang-layang yang akan "menarik" kapal sehingga menghemat
penggunaan bahan bakar.
Sejarah
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang
adalah dokumen dari Cina sekitar 2500 SM. Penemuan sebuah lukisan gua di Pulau
Muna, Sulawesi Tenggara, pada awal abad ke-21 yang memberikan kesan orang
bermain layang-layang menimbulkan spekulasi mengenai tradisi yang berumur lebih
dari itu di kawasan Nusantara. Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas
antara tradisi di Cina dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan
bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan
Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah
Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival
layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan. Dari Cina, permainan
layang-layang menyebar ke Barat hingga kemudian populer di Eropa. Layang-layang
terkenal ketika dipakai oleh Benjamin Franklin ketika ia tengah mempelajari
petir.
Walaupun bermain layang-layang tidak hanya identik dengan
permainan anak-anak, tetap saja penggemar utama layang-layang sebenarnya adalah
anak-anak. Memanfaatkan kegembiraan mereka bermain layang-layang bisa
mengalahkan godaan game boy, play station, maupun televisi.
Sayang sekali di daerah perkotaan amat sulit mencari lokasi
untuk bermain layang-layang. Akibatnya orang tua (terutama ibu-ibu) lebih
senang melarang anaknya bermain layang-layang karena berbahaya. Bermain di
jalan selain bahaya tertabrak juga bahaya tersengat listrik.
Alangkah baiknya bila para pengembang maupun pemerintah daerah memikirkan sarana ruang terbuka bagi lingkungannya, sehingga hobi bermain layang-layang ini bisa tersalurkan. Setidaknya ini akan menambah bidang pekerjaan juga, soalnya dalam era global yang serba instant ini mana ada lagi yang berpikir untuk mengambil buluh sebatang, diraut, ditimbang, dsb. Jadi, semakin banyak konsumen tentunya produsen semakin dibutuhkan. Bermain layang-layang di pantai ataupun di gunung hanya bisa dilaksanakan pada saat liburan, alangkah baiknya bila prasarana bermain di lingkungan bisa memenuhi kebutuhan akan ruang terbuka ini.
Alangkah baiknya bila para pengembang maupun pemerintah daerah memikirkan sarana ruang terbuka bagi lingkungannya, sehingga hobi bermain layang-layang ini bisa tersalurkan. Setidaknya ini akan menambah bidang pekerjaan juga, soalnya dalam era global yang serba instant ini mana ada lagi yang berpikir untuk mengambil buluh sebatang, diraut, ditimbang, dsb. Jadi, semakin banyak konsumen tentunya produsen semakin dibutuhkan. Bermain layang-layang di pantai ataupun di gunung hanya bisa dilaksanakan pada saat liburan, alangkah baiknya bila prasarana bermain di lingkungan bisa memenuhi kebutuhan akan ruang terbuka ini.
Bila kita berkunjung ke museum layang-layang, maka ada juga
kesempatan bagi anak-anak untuk berkreasi membuat layang-layang. Tidak perlu
lagi meraut buluh, melainkan mereka bisa berkreasi dengan warna-warna pilihan
sendiri. Kebanggaan bisa membuat sendiri ini, semoga menjadi dasar percaya diri
dan ketangguhan mereka untuk berusaha sendiri di kemudian hari. Dengan kegiatan
permainan seperti ini bukan hanya ketahanan fisik yang mereka dapatkan, tapi
juga membantu mereka mengerti logika alam. Bagaimana kekuatan tenaga angin bisa
membantu menerbangkan benda kecil maupun besar ke angkasa. Bahkan, seorang
Benjamin Franklin bisa menemukan penangkal petir berdasarkan logika dan
eksperimen yang diperolehnya ketika bermain layang-layang.
Bagi orang dewasa tentunya bermain layang-layang juga
berguna untuk menarik keluar sisi kanak-kanak di dalam dirinya. Pada saat ini
tentunya suasana hati menjadi santai dan senang sehingga akhirnya bermain
layang-layang juga bisa untuk menyehatkan orang dewasa. Jadi, mari berkampanye
untuk ruang luar publik yang aman dan nyaman untuk bermain, termasuk untuk
bermain layang-layang tentunya!
Perkembangan layang-layang di Indonesia cenderung mengarah
kepada bentuk modern yang memungkinkan akan berdampak kepada hilangnya ciri
layang-layang tradisional Indonesia.
Perkembangan layang-layang di dunia mengarah kepada bentuk dan motif yang artistik serta mengarah kepada pemanfaatan layang-layang dibidang teknologi.
Perkembangan layang-layang di dunia mengarah kepada bentuk dan motif yang artistik serta mengarah kepada pemanfaatan layang-layang dibidang teknologi.
Mengacu pada hal tersebut ada sekelompok pencinta
layang-layang yang tergabung dalam Merindo Kites & Gallery mencoba untuk
mengangkat dan melestarikan salah satu khazanah budaya dan memperkenalkan seni
dan teknologi layang-layang dengan mendirikan Museum Layang-layang Indonesia.
Layang Wau, permainan tradisional Melayu yang terkenal pada kalangan
orang-orang dewasa. Permainan wau ini dimain sama seperti permainan
layang-layang. Ia dimain secara individual. Permainan wau ini harus dimain di
tempat yang luas dan lebar supaya waunya tidak tersangkut dimana-mana seperti
pokok dan bumbung. Permainan ini gemar dimain oleh orang-orang dewasa pada
zaman dahulu. Kini, wau jarang dimain, layang-layang pula diambil perhatian
terhadap orang ramai. Dan layang layang bukan sahaja dimain oleh orang dewasa
malah budak-budak kecil juga suka bermain permainan layang-layang ini.
Nilai Budaya
Nilai Budaya
Dalam permainan ini kita diajarkan untuk dapat bersabar itu
terlihat dari naik nya laying-layang yang semakin lama semakn tinggi.
Ular Naga adalah satu permainan berkelompok
yang biasa dimainkan anak-anak Jakarta di luar rumah di waktu sore dan malam
hari. Tempat bermainnya di tanah lapang atau halaman rumah yang agak luas.
Lebih menarik apabila dimainkan di bawah cahaya rembulan. Pemainnya biasanya
sekitar 5-10 orang, bisa juga lebih, anak-anak umur 5-12 tahun (TK - SD).
Cara
bermain
Anak-anak berbaris bergandeng pegang 'buntut', yakni anak
yang berada di belakang berbaris sambil memegang ujung baju atau pinggang anak
yang di mukanya. Seorang anak yang lebih besar, atau paling besar, bermain
sebagai "induk" dan berada paling depan dalam barisan. Kemudian dua
anak lagi yang cukup besar bermain sebagai "gerbang", dengan berdiri
berhadapan dan saling berpegangan tangan di atas kepala. "Induk" dan
"gerbang" biasanya dipilih dari anak-anak yang tangkas berbicara,
karena salah satu daya tarik permainan ini adalah dalam dialog yang mereka
lakukan.
Barisan
akan bergerak melingkar kian kemari, sebagai Ular Naga yang berjalan-jalan dan
terutama mengitari "gerbang" yang berdiri di tengah-tengah halaman,
sambil menyanyikan lagu. Pada saat-saat tertentu sesuai dengan lagu, Ular Naga
akan berjalan melewati "gerbang". Pada saat terakhir, ketika lagu
habis, seorang anak yang berjalan paling belakang akan 'ditangkap' oleh
"gerbang".
Setelah
itu, si "induk" --dengan semua anggota barisan berderet di
belakangnya-- akan berdialog dan berbantah-bantahan dengan kedua
"gerbang" perihal anak yang ditangkap. Seringkali perbantahan ini
berlangsung seru dan lucu, sehingga anak-anak ini saling tertawa. Sampai pada
akhirnya, si anak yang tertangkap disuruh memilih di antara dua pilihan, dan
berdasarkan pilihannya, ditempatkan di belakang salah satu "gerbang".
Permainan
akan dimulai kembali. Dengan terdengarnya nyanyi, Ular Naga kembali bergerak
dan menerobos gerbang, dan lalu ada lagi seorang anak yang ditangkap.
Perbantahan lagi. Demikian berlangsung terus, hingga "induk" akan
kehabisan anak dan permainan selesai. Atau, anak-anak bubar dipanggil pulang
orang tuanya karena sudah larut malam.
Lagu
Lagu ini dinyanyikan oleh semua pemain, termasuk si
"gerbang", yakni pada saat barisan bergerak melingkar atau menjalar.
Ular naga panjangnya bukan kepalang
Menjalar-jalar selalu kian kemari
Umpan yang lezat, itu yang dicari
Kini dianya yang terbelakang
Kemudian, sambil menerobos "gerbang", barisan
mengucap "kosong - kosong - kosong" berkali-kali hingga
seluruh barisan lewat, dan mulai lagi menjalar dan menyanyikan lagu di atas.
Demikian berlaku dua atau tiga kali.
Pada
kali yang terakhir menerobos "gerbang", barisan mengucap "isi
- isi - isi" berkali-kali, hingga akhir barisan dan anak yang terakhir
di buntut ular ditangkap ("gerbang" menutup dan melingkari anak
terakhir dengan tangan-tangan mereka yang masih berkait).
Dialog
Kemudian terjadilah dialog dan perbantahan antara
"induk" (I) dengan kedua "gerbang" (G).
Dialog ini mungkin berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain, dan bahkan
juga berbeda-beda sesuai improvisasi si induk dan si gerbang setiap kali
seorang anak ditangkap.
I : "Mengapa anak saya
ditangkap ?"
G : "Karena
menginjak-injak pohon jagung.. "
I : "Bukankah dia
sudah kuberi (bekal) nasi ?"
G : "Nasinya sudah
dihabiskan "
G2 : (menyeletuk) "Anaknya
rakus, sih... "
I : "Bukankah dia
membawa obor ?"
G : "Wah, obornya mati
tertiup angin.. "
I : "Bukankah
.... ?"
G : "..... ",
dan seterusnya
Sampai
akhirnya si induk menyerah dalam perbantahan. Kemudian, untuk meyakinkan
kokohnya "penjara" yang dihadapinya, si induk biasanya menanyakan:
(Sambil
menepuk/menunjuk salah satu lengan si "gerbang")
I : "Ini pintu
apa ?"
G : "Pintu besi !"
I : "Yang ini ?",
(menepuk tangan yang lain)
G : "Pintu api !"
I : "Ini ?"
(menunjuk tangan yang lain lagi)
G : "Pintu air !",
I : "Dan ini ?"
(menunjuk tangan yang terakhir)
G : "Pintu duri !"
Putus
asa, yakin bahwa "penjara" tak tertembus, si induk kemudian menoleh
kepada anaknya:
I : "Kau mau pilih
'bintang' atau 'bulan' ?"
A : "Bintang !"
Dan
kemudian anak yang malang itu ditempatkan di belakang salah satu
"gerbang", yang digelari 'bintang'.
Permainan
mulai lagi.
Nilai budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan para pemain yang berusaha agar dapat menyelamatkan anaknya.
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja sama tercermin dari kekompakan para pemain yang berusaha agar dapat menyelamatkan anaknya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa permainan masyarakat Melayu
khususnya daerah RIAU sangat banyak sekali jenisnya. Permainan tersebut juga
memiliki nilai budaya yang mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang berkualitas.
Itu sebabnya penting untuk kita pelajari dan kita lakukan dalam kehidupan
sehari-hari.
3.2 Kritik
dan Saran
Kritik
dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk pembuatan makalah kami yang
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.2013.Permainan Masyarakat Melayu
Riau.Tersedia di:http://www.permainanrakyat.blogspot.com.27 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar